Jelang Penandatanganan RCEP, Pengusaha: Ada Peluang dan Ancaman

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) berfoto bersama dengan sejumlah kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara peserta KTT ke-3 Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) di Bangkok, Thailand, Senin (4/11/2019). Perjanjian dagang RCEP menawarkan peluang sekaligus ancaman bagi Indonesia.
Penulis: Rizky Alika
26/6/2020, 11.59 WIB

Perjanjian dagang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) akan menemui titik terang setelah melalui proses negosiasi selama delapan tahun. Kalangan pengusaha pun menilai perjanjian dagang ini menawarkan peluang sekaligus ancaman bagi Indonesia.

"Terkait potensi keuntungan dari RCEP untuk pemulihan ekonomi dari Covid-19, RCEP bisa menjadi peluang tapi bisa juga jadi ancaman," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani kepada Katadata, Jumat (26/6).

Menurutnya, perampungan RCEP di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu relatif rumit. Sebab, Covid-19 menyebabkan banyak negara mengutamakan perlindungan, stabilitas dan pemulihan ekonominya sendiri. Akibatnya, konsentrasi dan energi untuk merampungkan RCEP menjadi berkurang.

Perjanjian dagang pun bersifat liberalisasi dua arah. Pihak yang lebih sigap dan responsif memanfaatkan perjanjian dagang tersebut secara agresif akan memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan pihak lainnya.

(Baca: Tanpa India, Perjanjian Kerja Sama RCEP Bakal Diteken November 2020)

"Masalahnya sekarang sejauh mana pemerintah kita mempersiapkan ekosistem ekonomi nasional agar pelaku usaha bisa bersaing maksimal dengan pelaku usaha negara RCEP," ujar dia.

Selama ini, lanjut dia, Indonesia keteteran dalam bersaing dengan negara ASEAN dan Tiongkok dalam konteks perjanjian perdagangan bebas yang sudah ada.

Selain itu, surplus perdagangan Indonesia dengan India, Jepang dan Korea cenderung menipis karena hambatan non-tarif dalam perdagangan (NTM). Hal ini disebabkan oleh kurangnya diversifikasi produk ekspor nasional ke negara-negara tersebut sehingga mudah dikenai NTM.

Shinta pun menilai, bila Indonesia tidak bisa menciptakan pengaruh perdagangan baru dalam RCEP dan tidak ada perubahan iklim usaha, pelaku usaha akan sulit bersaing ketika RCEP diselesaikan dan dijalankan.

(Baca: Imbas Covid-19, RI Berpeluang Pasok Otomotif hingga Kertas ke Kanada)

Dia juga mengingatkan, negara-negara tetangga lebih gencar melakukan reformasi kebijakan ekonomi di negaranya masing-masing. Dengan demikian, ekonomi negara tetangga menjadi lebih terbuka, ramah, dan kondusif untuk investasi asing. "Ini demi menjadi salah satu production base dalam rantai pasok global," katanya.

Sementara itu, Indonesia dalam tiga tahun terakhir dinilai sudah tertinggal. Berkaca dari Indeks Kemudahan Berbisnis (EoDB) dan Global Competitiveness Index, reformasi kebijakan banyak yang tidak efektif di lapangan.

Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk dibenahi sesegera mungkin. "Jadi ketika RCEP rampung, pelaku usaha nasional siap bersaing dan betul-betul memanfaatkan RCEP untuk pertumbuhan ekonomi," kata dia.

(Baca: Pengusaha Nilai Peluang RI Gaet Relokasi Investasi Tiongkok Kecil)

Sebagai informasi, peserta perundingan RCEP kemungkinan besar akan menandatangani perjanjian pada November 2020.

"Hampir dapat dipastikan penandatanganannya dilakukan pada November 2020," kata Ketua Komite Negosiasi Perdagangan atau Trade Negotiating Committee (TNC) RCEP sekaligus Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Iman Pambagyo dalam siaran pers, dikutip Rabu (24/6). 

Iman menyampaikan, ada kemajuan perundingan akses pasar sejak KTT RCEP tahun lalu. Perundingan tersebut tinggal menyisakan sedikit pasangan bilateral untuk diselesaikan. Ia menyebut, teks perjanjian sudah disepakati dan proses konsistensi bahasa hukum (legal scrubbing) sudah hampir selesai.

(Baca: Permintaan Meningkat Selama Corona, Ekspor Rempah RI Naik 19,28% )

Reporter: Rizky Alika