Emiten produsen baja PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) terus berekspansi ke sektor hilir. Perusahaan meluncurkan produk baja ringan melalui kerja sama dengan pihak ketiga.
"Hilirisasi yang dilakukan Krakatau Steel memiliki keunikan. Kami tidak melakukan investasi pabrik baru, tapi bekerjasama dengan pabrik pihak ketiga yang utilisasinya masih rendah menggunakan bahan baku perusahaan,” kata Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim, Senin (20/9).
Menurutnya, model bisnis ini merupakan terobosan perseroan untuk meminimalisir biaya investasi dalam menghasilkan produk baru.
Adapun Krakatau Steel dan PT Kepuh Kencana Arum bersinergi memproduksi baja ringan kanal C berdimensi tinggi 75 mm dan reng tinggi 3 mm serta roll sheet dengan berbagai ketebalan. Baja ini diproduksi dengan menggunakan pasokan bahan baku cold rolled coil (CRC) atau baja canai dingin milik perseroan.
Produk baja ringan ini diproduksi dengan sistem mutu yang dimiliki oleh Krakatau Steel, sehingga dihasilkan produk yang sangat baik.
Adapun peluncuran produk tersebut ditandai dengan pengiriman perdana ke Mojokerto, Jawa Timur. Pada pengiriman perdana tersebut perseroan menjual 10.000 batang produk rangka atap kanal C dan reng asimetris.
Menurut Silmy, program hilirisasi menjadi strategi perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah produk Krakatau Steel sekaligus mengoptimalisasi industri dalam negeri.
Silmy menambahkan, Krakatau Steel mengedepankan semangat sharing economy yang saat ini sedang tren di dunia usaha. Alhasil, ke depan perusahaan akan mengisi beberapa pabrik baja yang utilisasinya belum optimal agar dapat meningkat dan dapat bersaing dengan produk impor.
Peningkatan utilisasi pabrik baja hilir diharapkan berdampak positif terhadap industri baja dalam negeri khususnya dalam rangka mengurangi impor produk. Pasalnya, impor baja menurutnya dalam tiga tahun terakhir meningkat sangat tinggi.
Direktur Utama Kepuh Kencana Arum, Henry Alvino mengatakan produk baja ringan yang diproduksi ini merupakan komponen utama untuk kebutuhan konstruksi rangka atap.
Sehingga, produk ini diharuskan mempunyai standar baku lapisan aluminium zinc (AZ) 100 dan G 550 yang sangat berpengaruh terhadap keawetan dan kekuatan produk saat terpasang. Produk ini dapat digunakan untuk berbagai aplikasi konstruksi bangunan seperti rumah, gedung, gudang, dan sebagainya.
Dengan jaminan ukuran dan bentuk yang presisi, masyarakat dapat menggunakan produk baja ringan Krakatau Steel yang berkualitas untuk konstruksi rangka atap.
Sebagai target awal, baja ringan Krakatau Steel akan dipasarkan di seluruh pulau Jawa dan Bali. Selanjutnya, penjualan akan diperluas hingga seluruh wilayah Indonesia.
Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) sebelumnya menyoroti maraknya baja impor yang tak sesuai standar nasional Indonesia atau SNI. Produk tersebut banyak ditemukan pada jenis material yang dipakai pada jasa konstruksi.
Padahal, dari segi kuantitas, industri baja dalam negeri dinilai mampu mencukupi kebutuhan nasional. Produk baja yang dihasilkan juga memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan impor.
Sekretaris Jenderal BPP GAPENSI Andi Rukman Nurdin menilai,kualitas produk hasil produksi dalam negeri tak jauh berbeda dibanding baja dari Tiongkok, Vietnam maupun Thailand. Kendati demikian, dari segi harga produk kedua negara ini jauh lebih murah.
Alhasil, konsumen lebih memilih harga paling murah sehingga produk dalam negeri kalah saing. Untuk menjadikan harga produk baja lokal lebih bersaing, industri dalam negeri harus mampu meningkatkan jumlah produksi. Selain itu, dia menilai tetap diperlukan dukungan pemerintah untuk melindungi industri baja dalam negeri dari gempuran baja impor dari sisi regulasi.
"Kita punya Krakatau Steel yang cukup luar biasa, punya Gunung Garuda, tapi kenapa kebijakan impor ini masih dibuka, ini menjadi persoalan," kata dia.
Bata Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor besi dan baja sepanjang 2019 mencapai US$ 10,39 miliar atau sekitar Rp 753 triliun. Realisasi impor baja meningkat 1,42% dibanding tahun sebelumnya US$ 10,25 miliar.
Selain menyebabkan defisit dagang dan transaksi berjalan, impor baja juga menyebabkan utilitas pabrik di dalam negeri menjadi sangat rendah.