Indonesia merupakan tiga besar produsen biji robusta di dunia. Pada panen 2017/2018 lalu, Indonesia mampu memproduksi kopi robusta dan arabika sebesar 636 ribu metrik ton kopi. Sementara produsen kopi terbesar di dunia adalah Brazil dengan produksi 3,05 juta metrik ton kopi pada periode yang sama.
Dikenal sebagai salah satu produsen kopi terbesar, Indonesia memiliki beragam biji kopi yang sudah mendunia. Salah satunya adalah Kopi Toraja dari Sulawesi yang menjadi favorit masyarakat di Eropa. Selain Kopi Toraja, Kopi Aceh Gayo juga termasuk populer di dunia.
Pendiri Shoot Me in The Head, Cindy Herlin Marta, yang merupakan Licensed Arabica Grader, dikutip dari Kompas pertengahan Maret lalu, mengatakan bahwa kopi Gayo adalah komoditas yang paling banyak diekspor Indonesia. Daerah Gayo kini menjadi daerah komoditas kopi internasional. “Di Gayo juga sangat banyak kopinya. Bahkan di sana tanaman kopi bisa ditemukan di pinggir jalan,” ujar Cindi.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor komoditas kopi Indonesia per pada tahun 2018 mencapai 277,4 ribu ton dengan nilai US$ 806,9 juta. Gabungan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) mengungkapkan terjadi penurunan ekspor kopi karena meningkatnya konsumsi dalam negeri. Namun pada 2019 volume ekspor meningkat menjadi 355,8 ribu ton dengan nilai ekspor mencapai US$ 872,4 juta.
Setelah menjadi salah satu eksportir kopi terbesar di dunia pada 2016 lalu, makin banyak daerah di Tanah Air yang jadi pembudidaya kopi. Di setiap daerah ada kopi, termasuk di Bengkulu. Setiap tahun, provinsi di pesisir barat Sumatera itu menghasilkan 60 ribu ton biji kopi. Pada 2016 lalu, Bengkulu termasuk penghasil 15 kopi terbaik di Indonesia.
Komunitas masyarakat adat di Bengkulu turut andil dalam mengolah kopi. Komunitas adat produsen kopi di Bengkulu adalah Semende, Serawai, dan Rejang. Umumnya, kopi yang dibudidayakan di Bengkulu adalah jenis arabika, robusta, dan liberika.
Tak hanya komunitas adat di Bengkulu, komunitas adat Enrekang di Sulawesi Selatan juga merupakan produsen kopi unggulan di Tanah Air. Bahkan kopi masyarakat adat Enrekang sudah mendapat sertifikasi kopi internasional. Meski kini kopi masyarakat adat Enrekang telah meraih kesuksesan, Patola menuturkan bahwa perjalanannya membawa kopi Benteng Alla ke kancah global kerap mengalami kendala. “Dulu desa ini susah diakses kendaraan, alat komunikasi ke dunia luar juga tak ada sehingga kami mengandalkan penjualan kopi ke pedagang yang masuk dan harga jualnya sangat rendah,” kata Patola.
Permasalahan serupa ternyata juga dialami oleh masyarakat adat pembudidaya kopi lainnya. Keterbatasan akses pemasaran menjadikan kopi masyarakat adat hanya dihargai murah oleh tengkulak. Tak hanya itu, banyak tengkulak juga menciptakan merek baru sehingga jejak kopi masyarakat adat hilang dan tidak diakui keberadaannya.
Selain masalah pemasaran, lahan kebun kopi milik masyarakat adat kerap diklaim pemerintah daerah. Hal ini disebabkan karena masyarakat adat masih dianggap kurang mampu dalam mengelola lahan mereka sendiri sehingga mengakibatkan sulitnya pengembangan perekonomian adat secara mandiri.
Produksi Kopi Ramah Lingkungan bersama Nusantara Indigenous Coffee
Melihat potensi dan berbagai permasalahan kopi masyarakat adat, Koperasi AMAN Mandiri (KPAM) mengembangkan unit usaha kopi masyarakat adat melalui Nusantara Indigenous Coffee (NIC). Melalui organisasi ini, masyarakat adat diberikan pendampingan dan edukasi agar bisa mengembangkan kopi mereka.
NIC mendorong masyarakat adat untuk branding kopi mereka serta membangun pasarnya sendiri. Organisasi tersebut juga melakukan pendampingan proses produksi kopi masyarakat adat agar mengedepankan produksi ramah lingkungan tanpa menggunakan bahan kimia. Tak hanya ramah lingkungan, kopi masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia juga mengedepankan konservasi area hutan yang menjadi tempat menanam kopi.
Menurut Husnizon Fajri, Pengelola KPAM, selain memberi edukasi seputar pengelolaan kopi dan training keuangan, NIC juga membeli produk kopi komunitas adat dengan harga yang adil. “Kopi masyarakat adat bila dijual ke tengkulak harganya akan jauh di bawah, sehingga NIC berkontribusi dalam branding kopi mereka melalui cerita dari kopi mereka agar dapat menaikkan harganya.”
Lebih lanjut, NIC juga memperjuangkan keadilan dalam jual-beli kopi tersebut karena masyarakat adat tak hanya memproduksi kopi ramah lingkungan namun juga mempraktikkan produksi berkelanjutan sehingga harus diberi harga yang setimpal dengan proses produksinya. Ia juga menambahkan, proses penanaman kopi tanpa bahan kimia ini juga berpengaruh pada cita rasa kopi tersebut.
“Kopi masyarakat adat ini memiliki keunikan dari segi teknik dan cerita dibalik produksinya dibanding kopi lainnya, sehingga tidak mungkin dihargai dengan nominal yang rendah,” ujar Aji.
Sebaran Komunitas Adat Penghasil Kopi
Hingga saat ini sudah ada 53 komunitas adat di Indonesia anggota NIC yang tersebar di Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Kedepannya, NIC juga akan mengembangkan cakupan wilayahnya hingga ke Kalimantan Barat. Sejauh ini target produksi kopi adat masih 2 ton per tahun. Namun karena lonjakan permintaan pasar, kopi tersebut sudah habis terjual kurang dari setahun.
Meski kualitasnya tergolong premium, harga kopi kemasan NIC cukup terjangkau. Biji kopi arabika seberat 100 gram dibanderol seharga Rp 30 ribu – 40 ribu. Sedangkan biji kopi dengan kemasan 250 gram dijual dengan harga Rp 70 – 80 ribu. NIC bahkan kini memiliki kedai kopi yang juga menjadi tempat pendistribusian kopi masyarakat adat di Jalan Sudirman, Kota Bogor.
Kesuksesan NIC dalam memberdayakan petani kopi komunitas adat menjadi bukti bahwa masyarakat adat mampu mengelola wilayah adatnya dengan baik. Dengan diberikan kepercayaan dalam mengelola lahannya sendiri serta edukasi yang tepat, masyarakat adat bisa meningkatkan pendapatan mereka secara mandiri dan keluar dari jerat kemiskinan.