Produk minyak goreng langka di pasar. Padahal, para pengusaha sawit sudah menjalankan kewajiban pasar domestik (DMO) crude palm oil (CPO). Kementerian Perdagangan (Kemendag) pun telah menyalurkan 415,78 ribu ton minyak goreng hasil DMO ke pasar pada 14 Februari-8 Maret 2022.
Langkanya minyak goreng diduga karena kebocoran dalam sistem distribusi DMO minyak goreng. Namun, pemerintah hingga kini belum mengungkap sumber kebocoran tersebut.
Dari informasi yang dikumpulkan Katadata.co.id, terdapat tiga lapis proses distribusi DMO minyak goreng yang disebut D1, D2, dan D3. D1 adalah distributor besar, D2 adalah subdistributor, dan D3 adalah agen migor yang biasa dijumpai di dekat pasar tradisional.
Awalnya pemerintah menerima dua jenis produk dalam aturan DMO, yakni minyak sawit mentah atau CPO dan olein. Olein merupakan hasil olahan CPO dan merupakan bahan baku migor. Kemendag mencatat telah menerima 463,88 ribu ton refined, bleached, deodorized (RBD) Palm Olein dan 110 ribu ton CPO.
Empat perusahaan besar di antaranya telah memenuhi kewajiban DMO, yakni Wilmar Group (99,26 juta liter), PT Musim Mas (65,32 juta liter), PT Smart Tbk (55,18 juta liter), dan Asian Agri (48,59 juta liter).
Pemerintah kemudian menyalurkan CPO dan olein itu kepada 74 pabrikan untuk diolah menjadi minyak goreng. Kemudian pabrikan tersebut mengembalikannya kepada pemerintah dalam bentuk minyak goreng. Selanjutnya pemerintah mendistribusikannya kepada distributor besar atau D1.
Adapun D2 atau subdistributor ini berada di berbagai wilayah yang kemudian menyalurkannya ke agen penjualan. Rentang jalur distribusi D2 ini panjang mencakup lintas provinsi, kabupaten, hingga mendekati agen penyalur. Terakhir D3 merupakan agen penjual di pasar yang menjual langsung minyak goreng curah ke konsumen.
Di Titik Mana Terjadi Kebocoran Minyak Goreng?
Dari tiga alur distrisbusi DMO minyak goreng tersebut, terdapat beberapa dugaan kebocoran itu terjadi. Pertama, dugaan penyelewengan yang terjadi di level distributor besar atau D1 yang disalurkan ke industri pengguna minyak goreng.
Pemerintah pun mencium dugaan industri yang menggunakan minyak goreng menyerobot minyak goreng milik konsumen untuk mendapatkan harga murah. "Kami akan mengeluarkan Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) baru untuk menutup kemungkinan itu," kata Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi belum lama ini.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mencatat sekitar empat industri pengguna migor, yakni industri kue kering, industri susu, industri perhotelan, dan industri restauran.
Kemendag memprediksi kebutuhan minyak goreng pada 2022 sebanyak 5,7 kiloliter yang terdiri dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta kiloliter dan kebutuhan industri sebesar 1,8 juta kiloliter.
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menyatakan kebutuhan industri akan minyak goreng cukup signifikan. Sayangnya, sebagian industri tidak memiliki hubungan dengan perkebunan CPO. "Mereka sebagian tidak beroperasi karena tidak dapat pasokan CPO," kata dia.
Kedua, munculnya oknum spekulan pada level distributor besar atau D1 dan subdistributor atau D2. Terdapat dugaan, sebagian pelaku distribusi di D1 dan D2 menahan distribusi migor ke D3 dengan harapan mendapatkan margin lebih banyak.
"Kami berspekulasi seperti itu. Saya akan memastikan tindakan Anda melawan hukum dan saya akan menuntut spekulan-spekulan tersebut berdasarkan hukum," kata Lutfi.
Ketiga, penyelewengan terakhir ada di level agen minyak goreng di pasar tradisional atau D3. GIMNI menduga agen migor yang melakukan penyelewengan distribusi migor bekerja sama dengan pemilik modal.
Sahat belum menemukan pemilik modal yang bekerja sama dengan agen migor. Namun demikian, Sahat menilai ada dua motif yang membuat agen migor melakukan penyelewengan.
"Pertama memang mau merusak Republik ini, bahwa kabinet sekarang tidak mampu. Kedua, (spekulasi bahwa) sebentar lagi harga (eceran tertinggi) akan dilepas (menjadi berdasarkan mekanisme pasar)," kata Sahat.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) juga menemukan modus penyelewengan yang dilakukan agen distributor. Mereka menemukan agen yang membatasi penyaluran migor ke para pedagang dan toko ritel modern. Praktik ini ditemukan di tujuh provinsi, yakni Sumatra Utara, DKI Jakarta Jambi, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua.