Pemerintah bakal menaikkan tarif ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebesar 80% dalam bentuk Dana Pungutan (DP) ekspor dan Bea Keluar (BK). Kenaikan tarif ekspor ini akan berbarengan dengan dihapuskannya tiga kebijakan terkait minyak goreng pada pekan ini.
Kebijakan yang akan dihapus yakni kewajiban pengusaha pasok minyak sawit mentah ke pasar domestik (domestic market obligation atau DMO), kewajiban harga domestik (DPO) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan.
Kenaikan tarif ekspor itu untuk menjaga pasokan CPO dalam negeri dan membiayai subsidi minyak goreng (migor) curah dengan Harga Eceran Tertinggi Rp 14 ribu per liter. Subsidi minyak goreng curah berasal dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sumber dana BPDKS ini berasal dari tarif ekspor CPO.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan menaikkan tarif ekspor dari US$ 375 per ton menjadi US$ 675 per ton atau naik 80%. Untuk menaikkan kemampuan BPDPKS, batas atas DP ekspor akan dinaikkan dari US$ 1.000 per ton menjadi US$ 1.500 per ton.
"Dengan begitu, BPDPKS akan mempunyai uang yang cukup untuk memastikan pemerintah hadir dengan (membuat harga migor curah) seharga Rp 14 ribu per liter atau Rp 15.500 per kilogram," kata Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi di Pasar Senen, Kamis (17/3).
Adapun, skema perhitungan BPDPKS adalah senilai US$ 55 untuk penjualan CPO senilai US$ 750 per ton. Setiap penambahan harga jual sebanyak US$ 50 per ton, DP ekspor akan ditambah US$ 20.
Penambahan akan terus dilakukan hingga nilai jual CPO mencapai US$ 1.000 per ton. Dengan demikian, DP ekspor maksimal mencapai US$ 175 per ton.
Dengan kata lain, DP ekspor CPO maksimal akan naik mencapai US$ 375 per ton. Pasalnya, batas atas penambahan DP menjadi US$ 1.500 per ton.
Di samping itu, saat ini bea keluar CPO untuk Februari 2022 merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PMK.010/2022 sebesar US$ 200 per metrik ton. Artinya, bea keluar CPO berpotensi naik senilai US$100 per metrik ton menjadi US$ 300 per metrik ton.
Lutfi mengatakan pihaknya telah berdialog dengan pengusaha CPO sebelum menentukan aturan ini. Selain itu Lutfi menilai peningkatan tarif ekspor ini penting lantaran dana subsidi yang dibutuhkan saat ini naik sekitar empat kali lipat.
"Harganya (CPO) waktu saya desain bedanya Rp 2 ribu (per Kg). Sekarang bedanya Rp 8 ribu, rusak jadinya (desain kebijakan awal)," kata Lutfi kepada seorang pedagang di Pasar Senen.
Lutfi menyebutkan faktor utama naiknya harga CPO adalah perang Rusia-Ukraina saat ini. Permintaan CPO meningkat setelah Ukraina tak memasok bahan baku minyak bunga matahari.
"Harga CPO loncat dari Rp 14.600 per Kg pada awal Februari 2022 jari Rp 18 ribu kemarin. Sekarang sudah turun sedikit, tapi pada dasarnya (harga CPO) naik karena mekanisme pasar," kata Lutfi.
Kementerian Pertanian (Kementan) Amerika Serikat mencatat minyak bunga matahari berkontribusi hingga 13,98% dari total pasar ekspor minyak nabati. Sementara itu, Ukraina menopang sekitar 47% dari total pasar ekspor, sedangkan Rusia sebesar 30%.
Perang Rusia-Ukraina membuat pasokan ekspor dari kedua negara tersebut berhenti total. Alhasil, negara pengimpor minyak bunga matahari mengalihkan pemesanannya ke CPO.
Pada saat yang sama, produksi CPO pada 2021 susut 0,31% dari realisasi 2020 sebesar 47,03 juta ton menjadi 46,88 juta ton. Sementara itu, produksi minyak inti sawit (crude palm kernel oil/CPKO) turun 3,01% secara tahunan menjadi 4,41 juta ton.
Produksi CPO dan CPKO pun mengalami penurunan sepanjang Januari 2022. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, total produksi minyak sawit dalam negeri pada Januari 2022 sebesar 4,22 juta ton. Jumlah itu menurun 3% dari 4,36 juta ton pada bulan sebelumnya. Berikut grafik Databoks: