Kementerian Perindustrian atau Kemenperin optimistis lapangan usaha industri makanan dan minuman pada akhir tahun dapat mencapai 7%. Namun demikian, pelaku industri pesimistis target tersebut bisa tercapai karena adanya kenaikan bahan bakar minyak dan depresiasi Rupiah.
Direktur Jenderal Industri Agro Putu Juli Ardika mengatakan transisi menuju endemi membuat mobilitas masyarakat meningkat. Hal tersebut dinilai akan mendorong permintaan pangan olahan pada semester II-2022.
"Paling tidak industri makanan dan minuman tumbuh sampai 7%. Kami sangat optimistis. Kami berupaya memfasilitasi bagaimana target itu bisa terjadi," kata Putu saat pembukaan Food Ingredients (Fi) Asia 2022, Rabu (7/9).
Pada kuartal II-2022, Putu mencatat lapangan usaha industri makanan dan minuman telah tumbuh 3,68% secara tahunan. Capaian tersebut lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan April-Juni 2021 sebesar 2,9% secara tahunan.
Putu mengatakan kontribusi sektor makanan dan minuman ke pertumbuhan industri non migas mencapai 38,38% pada kuartal II-2022. Dengan demikian, Putu menilai industri makanan dan minuman merupakan sub sektor dengan kontribusi pertumbuhan terbesar ke pertumbuhan industri non migas saat itu.
Selain permintaan dalam negeri, Putu menilai pertumbuhan industri makanan dan minuman nasional akan didorong oleh permintaan internasional. Hal tersebut ditunjukkan dengan pertumbuhan nilai ekspor makanan dan minuman sebesar 9% secara tahunan pada Januari-Juli 2022 menjadi US$ 21,3 miliar dari periode yang sama tahun lalu senilai US$ 19,5 miliar.
Terakhir, Putu menilai industri makanan dan minuman akan tumbuh 7% pada tahun ini lantaran total investasi baru di sektor makanan dan minuman telah mencapai Rp 42 triliun. Artinya, investasi pada industri makanan dan minuman berkontribusi hingga 7,2% dari total investasi baru pada paruh pertama 2022.
Berdasarkan data Kementerian Investasi, penanaman modal asing atau PMA di industri mamin pada semester I-2022 menyusut 20% secara tahunan menjadi US$ 1,2 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$ 1,5 miliar. Adapun, total PMA pada industri mamin pada tahun lalu adalah US$ 2,3 miliar.
Namun demikian, nilai penanaman modal dalam negeri atau PMDN di industri mamin pada semester I-2022 tumbuh menjadi Rp 24 triliun. Angka tersebut mendekati realisasi PMDN pada 2021 senilai Rp 26,5 triliun.
"Ini suatu prestasi, suatu investasi yang cukup besar di industri makanan dan minuman. Kami harapkan dengan event ini, akna menambah lebih banyak lagi investasi di 2022 ini," kata Putu.
Namun demikian, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memproyeksi pertumbuhan industri makanan dan minuman tahun ini hanya dapat mencapai 5%. Penekan pertumbuhan industri mamin diduga karena kenaikan harga bahan baku dan energi.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman sebelumnya mengatakan keadaan tersebut diperburuk dengan depresiasi rupiah sehingga bahan baku impor semakin mahal. Namun demikian, produsen masih berhati-hati menaikkan harga jualnya sehingga memilih untuk menekan marginnya.
"Terus terang, penjualan (industri mamin) naik, ekspor juga naik, karena banyak negara butuh pangan. Tapi, marginnya (industri mamin) tergerus semua," kata Adhi.