Indonesian Mining Association atau IMA menyatakan Bali Compendium belum dapat menjadi senjata pamungkas dalam menangkal gugatan larangan ekspor mineral Indonesia di masa depan. Pasalnya, Bali Compendium hanya bersifat persetujuan tidak mengikat oleh negara-negara anggota G20.
Dengan demikian, Bali Compendium dinilai hanya akan menunda sanksi yang akan dijatuhkan oleh Organisasi Dagang Dunia atau WTO. Sebagai informasi, pemerintah Indonesia kini dalam proses verifikasi oleh WTO atas gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan larangan ekspor bijih nikel Indonesia.
"Terlebih, kalau intensitas self-interest Indonesia dalam Bali Compendium dinilai terlalu tinggi demi hilirisasi mendapatkan nilai tambah seoptimal mungkin, besar kemungkinan Bali Compendium akan menjadi bumerang," kata Direktur Eksekutif IMA Djoko Widajatno kepada Katadata.co.id, Kamis (29/9).
Seperti diketahui, Bali Compendium merupakan perjanjian tidak mengikat yang melarang satu negara mengintervensi kebijakan investasi negara lain, khususnya dalam hal hilirisasi. Perjanjian tersebut merupakan hasil dari pertemuan tingkat Menteri Investasi, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian anggota G20 di Bali belum lama ini.
Djoko menilai Bali Compendium merupakan usaha pemerintah Indonesia untuk melarang negara anggota G20 dalam mengintervensi strategi investasi negara G20 lainnya. Menurutnya, hal tersebut dilakukan lantaran larangan ekspor di dalam negeri tidak punya landasan hukum yang paling kuat, yakni Undang-Undang.
Indonesia mulai melarang ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020 dengan dasar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11-2019 yang diterbitkan pada 28 Agustus 2019. Uni Eropa memprotes kebijakan Indonesia tersebut kepada WTO pada November 2019.
Djoko mengatakan tujuan utama dari Permen ESDM No. 11-2019 adalah menjaga neraca cadangan nikel nasional demi hilirisasi. Menurutnya, hal tersebut penting karena hilirisasi dapat mensejahterakan rakyat melalui nilai tambah.
Djoko mengatakan Bali Compendium dapat menjadi jawaban atas gugatan larangan ekspor nikel jika tidak lari dari kesepakatan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT) 1994. Selain itu, Bali Compendium juga harus menjawab keraguan yang diajukan panel investigasi WTO atas gugatan larangan ekspor bijih nikel tersebut.
"Jika demikian, Bali Compendium bisa menyelamatkan hubungan Indonesia dengan negara-negara lain, khususnya negara anggota G20. Pasalnya, off-taker hilirisasi akan sangat mempengaruhi minat investasi," kata Djoko.
Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan Bali Compendium membuat negara-negara menghargai strategi investasi negara lainnya dengan memprioritaskan keunggulan komparatif di negara tersebut. Sehingga, menurut Bahlil, negara-negara di dunia tidak boleh menghalangi kebijakan larangan ekspor yang sedang dan akan dilakukan Indonesia.
Bahlil menyebutkan persetujuan Bali Compendium hampir berakhir pada jalan buntu. Namun, Bahlil mengatakan Kementerian dibantu oleh United Nations Conference on Trade and Development atau UNCTAD dan Universitas Parahyangan untuk membuat negara-negara anggota G20 mencapai kata sepakat.
Bahlil berpendapat hilirisasi adalah jalan yang digunakan negara maju anggota G20 pada tahun 1960-an dan 1970-an. Namun demikian, Bahlil tidak dapat menjelaskan hubungan antara strategi tersebut, Bali Compendium, dan hasil keputusan WTO pada kuartal terakhir 2022.
International Energy Agency (IEA) menyatakan nikel merupakan bahan baku penting bagi industri baterai kendaraan listrik serta pembangkitan energi geotermal. Permintaan nikel di pasar global pun diproyeksikan akan terus meningkat, seiring dengan penguatan tren energi baru-terbarukan (EBT).
"Permintaan nikel untuk teknologi energi bersih akan berkembang pesat hingga 20 kali lipat selama periode 2020 sampai 2040," prediksi IEA dalam laporan Southeast Asia Energy Outlook 2022.