RI Fokus Olah Nikel Kadar Rendah, Hasil WTO Tak Ganggu Proyek Baterai
Vale Indonesia meyakini hasil gugatan yang dilayangkan Uni Eropa di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel tak akan berdampak pada pengembangan industri baterai kendaraan listrik, sekalipun Indonesia kalah dalam gugatan tersebut.
Direktur Utama Vale Indonesia, Febriany Eddy, menjelaskan bahwa proyek hilirisasi nikel di Indonesia fokus pada pengolahan bijih nikel kadar rendah seperti bijih nikel jenis Limonit. Tipe bijih nikel ini yang nantinya akan digunakan sebagai bahan baku produk baterai kendaraan listrik.
Karena memiliki nilai kadar rendah, harganya pun lebih rendah dari jenis bijih nikel yang kadarnya lebih tinggi. Jika nantinya Indonesia kalah dan harus membuka keran ekspor nikel, Febri meyakini produsen tak akan tertarik untuk mengekspor nikel Limonit karena biaya angkut yang lebih besar daripada biaya produksinya.
"Karena kadarnya rendah maka nilai jualnya rendah daripada yang kadarnya tinggi sehingga untuk biaya angkut dari Limonit ini tidak bisa tinggi-tinggi kan, kalau jaraknya terlalu jauh maka biaya angkutnya tidak masuk ke dalam biaya produksinya," kata Febri saat ditemui usai RDP dengan Komisi IV DPR, Selasa (27/9).
Oleh sebab itu, Febri menilai, saat ini praktik pembuatan baterai kendaraan listrik kerap kali berdekatan dengan tambang nikel maupun pabrik pengolahan atau smelter nikel. Lokasi yang berdekatan diharap bisa mempemudah proses pemurnian dan hilirisasi.
Hal tersebut dapat dijumpai smelter nikel limonit milik Vale di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan."Nature-nya seperti itu. Menurut saya untuk limonit sendiri itu pemanfataannya saya engga begitu khawatir. Harapannya tidak banyak dampaknya ke baterai kendaraan listrik," sambungnya.
Dia menilai, kekalahan Indonesia di forum WTO juga tak akan berdampak pada serapan invetasi di Indonesia. Dengan langkah pemerintah yang giat mendirikan pabrik pengolahan bijih nikel kadar rendah, investor akan lebih tertarik karena biaya pengembangan baterai kendaraan listrik makin ekonomis.
"Pemerintah galakkan pabrik untuk mengolah bijih kadar rendah yang mana secara inheren bijih tersebut nilai jualnya rendah maka harus diproses di lokasi yang dekat dengan penambangannya. Karena secara ekonomis gak masuk akal jika diolah di luar negeri," ujar Febri.
Nilai Ekspor Olahan Nikel Melonjak Signifikan Berkat Larangan Ekspor
Sebelumnya Kementerian Perindustrian mengungkapkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel mulai awal 2020 membuahkan hasil yang positif. Nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak pemerintah memberlakukan kebijakan tersebut.
Hal ini terlihat dari nilai ekspor komoditas turunan nikel pada Januari-Agustus 2022 yang mencapai US$ 12,35 miliar atau tumbuh hingga 263% jika dibandingkan tahun 2019, sebelum pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel yang hanya mencapai US$ 3,40 miliar.
“Enam tahun yang lalu, ekspor kita dari nikel kira-kira hanya US$ 1,1 miliar. Sedangkan, pada 2021 sudah mencapai US$ 20,9 miliar. Artinya, nilai tambah lompatannya hingga 19 kali,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita lewat keterangannya di Jakarta, Minggu (18/9).
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah terus memacu tumbuhnya industri smelter yang terbukti memberikan multiplier effect atau efek pengganda yang luas bagi perekonomian nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, industri pengolahan menjadi kontributor terbesar jika dilihat menurut sektornya, dengan nilai ekspor mencapai US$ 19,79 miliar pada Agustus 2022. Pengapalan sektor manufaktur ini mengalami pertumbuhan 13,49% apabila dibandingkan dengan nilai posisi pada Juli 2022.
“Kenaikan ekspor ini didorong oleh komoditas minyak kelapa sawit, besi baja, peralatan listrik, kendaraan dan bagiannya, serta turunan nikel,” imbuh Agus.