Kementan Godok Insentif Bagi Sertifikasi Berkelanjutan Petani Sawit

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Pekerja memuat hasil perkebunan kelapa sawit di Medang Sari, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Jumat (19/8).
9/12/2022, 14.09 WIB

Perkembangan pembangunan industri minyak kelapa sawit atau CPO berkelanjutan masih minim lantaran tidak ada insentif nyata bagi petani. Di sisi lain, adopsi CPO berkelanjutan oleh industri masih sulit lantaran premi yang harus dibayarkan ke petani cukup tinggi.

Sebagai informasi, semua petani kelapa sawit di dalam negeri wajib memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO pada 2025. Namun jumlah petani yang memiliki sertifikat ISPO hingga Maret 2021 baru mencapai 5,78 hektar atau 45% dari total lahan perkebunan kelapa sawit nasional.

Untuk meningkatkan kepemilikan sertifikat ISPO, Kementerian Pertanian atau Kementan berencana memberikan insentif kepada petani. Artinya, pemerintah mewacanakan meniru praktik premi pada pemilik sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil atau RSPO.

"ISPO itu kepatuhan pelaku usaha terhadap peraturan di Indonesia. Untuk bisa lebih diterima harus ada insentifnya," kata Sub Koordinator Penerapan Teknologi dan Pemberdayaan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan Dedi dalam China-Indonesia Sustainable Palm Oil Dialogue, Kamis (8/12).

Dedi menilai pemberian insentif tersebut akan serupa dengan premi yang didapatkan petani sawit pemilik sertifikat RSPO. Seperti diketahui, premi yang dimaksud adalah peningkatan harga tandan buah segar atau TBS sawit yang dibebankan pada industri pengguna CPO.

Adapun, sertifikat ISPO saat ini tidak berpengaruh apapun pada harga TBS petani bersangkutan. Dedi mengatakan wacana premi tersebut sebelumnya sudah muncul untuk dimasukkan dalam Peraturan Presiden No. 44-2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.

Akan tetapi, klausul terkait peningkatan harga TBS pada pemilik sertifikat ISPO tidak jadi dimasukkan. Dedi mengatakan klausul tersebut dapat menurunkan penyerapan CPO kepada industri pengguna karena peningkatan harga.

Namun, Dedi menilai klausul insentif tersebut kini perlu dimasukkan lagi untuk mencapai target 2025. "Kami tidak hanya ingin insentif bagi pemilik sertifikat ISPi hanya wacana, karena kalau sertifikasi ingin cepat harus ada insentifnya," kata Dedi.

Di sisi lain, Cargill China mencatat penyerapan CPO berkelanjutan hasil perkebunan dengan sertifikat RSPO masih minim di Cina. Kontribusi CPO berkelanjutan pada total CPO yang diserap Negeri Panda masih di bawah 2%.

Padahal, Cina menargetkan CPO yang diserap dari perkebunan dengan sertifikat RSPO mencapai 10%. Selisih harga antara CPO biasa dan berkelanjutan yang tinggi dinilai menjadi penyebab utamanya.

"Sertifikasi berkelanjutan membuat biaya pembelian CPO yang dibeli perusahaan naik sampai 30%," kata Government Relations Director Cargill Cina Shi Xiandang.

Shi menilai pemerintah Cina cukup mendukung praktik hijau dilakukan, khususnya pada praktik industri pengolahan. Pasalnya, pemerintah telah menyediakan pendanaan hijau kepada perkebunan dengan sertifikat RSPO melalui penerbitan Green Bond.

Akan tetapi, ia tidak terlalu optimistis penyerapan CPO dengan sertifikat RSPO akan tumbuh dalam waktu dekat. Selain selisih harga yang tinggi, mereka belum mendapatkan peta jalan yang jelas terkait penerapan praktik berkelanjutan dalam industri pengolahan CPO di Cina.

Berdasarkan data Kementan, sebanyak 73,8% CPO di Cina berasal dari Indonesia. Badan Pusat Statistik atau BPS mendata total ekspor CPO Indonesia ke Cina mencapai 4,7 juta ton pada 2021.

Adapun, Cina menopang 17,43% dari total ekspor CPO nasional yang mencapai 26,99 juta ton pada 2021. Artinya, Cina menjadi pasar ekspor terbesar industri CPO nasional. Pada Januari-Juni 2022, nilai ekspor CPO Indonesia ke Cina adalah US$ 12,19 miliar.

Reporter: Andi M. Arief