Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU mengungkapkan pelaku usaha ritel modern dan produsen minyak goreng mengalami kerugian lebih dari Rp 1 triliun akibat kebijakan minyak goreng Kementeriaan Perdagangan. Kerugian tersebut berasal dari tagihan rafaksi minyak goreng yang tidak dibayarkan oleh Kementerian Perdagangan kepada pelaku usaha tersebut.
Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamanggala, mengatakan tagihan tersebut belum dibayar kepada produsen minyak goreng dan distributor sebesar Rp 700 miliar. Selain itu, pemerintah juga belum membayar tagihan sebesar Rp 344 miliar kepada sekitar 600 korporasi ritel modern di seluruh Indonesia.
Oleh sebab itu, KPPU meminta Kemendag untuk segera membayar utang rafaksi minyak goreng tersebut baik ke pelaku usaha ritel maupun ke produsen atau distributor minyak goreng. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak merugikan lebih besar pada masyarakat maupun iklim usaha.
"Kami sangat menyayangkan apabila pemerintah bersikeras untuk tidak membayar rafaksi minyak goreng ini. Karena pemerintah yang mengeluarkan kebijakan, lalu pelaku usaha sudah mengikuti kebijakan tersebut bahkan pelaku usaha sudah mengalami kerugian dua kali," kata Mulyawan dalam pertemuan dengan media yang dilaksanakan secara virtual, Rabu (10/5)
Mulyawan menuturkan, Kemendag perlu mengeluarkan regulasi terkait pelaksanaan kewajiban pembayaran rafaksi minyak goreng pada pelaku usaha yang telah selesai diverifikasi.
Asal Mula Utang Minyak Goreng
Utang tersebut merupakan selisih pembayaran yang dijanjikan Kemendag atas kebijakan minyak goreng satu harga pada 19-31 Januari 2022. Kebijakan tersebut ditetapkan karena harga minyak goreng yang tinggi dan jauh di atas Harga Eceran Tetap atau HET.
Kebijakan minyak goreng satu harga diatur dalam Permendag 3/2022 tentang minyak goreng satu harga pada kemasan premium, sederhana, dan curah sebesar Rp 14.000 per liter. Namun, Permendag Nomor 3 Tahun 2022 itu telah dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Kementerian Perdaganga beralasan belum bisa membayar utang tersebut karena sudah tidak memiliki payung hukum.
Mulyawan mengatakan, Kemendag telah melakukan kesalahan besar karena mencabut Permendag lama sehingga Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS tidak bisa membayar utang itu kepada pelaku usaha ritel modern dan produsen minyak goreng. Dengan begitu, kemungkinan besar pelaku usaha manapun tidak akan percaya lagi kepada pemerintah.
"Jadi menurut saya, kebijakan tersebut sangat berbahaya apabila tidak menepati nya, disisi lain kepercayaan pelaku usaha terhadap pemerintah bisa lemah," kata dia.
KPPU menilai, persoalan ini patut menjadi prioritas pemerintah guna menghindari kerugian atau dampak yang lebih luas kepada masyarakat. Terlebih minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga adanya gangguan dalam pasokan akan mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng berdampak kepada inflasi.