Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya menggaet investor dunia untuk masuk ke dalam proyek hilirisasi nikel untuk mendukung pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik di Indonesia.
Salah satunya yaitu melalui pembangunan pabrik pengolahan mineral atau smelter nikel yang berteknologi hidrometalurgi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang dapat mengolah bijih nikel limonite kadar rendah 0,8-1,5% untuk produksi komoditas lanjutan mixed hydroxide precipitate (MHP) dan Mix Sulphide Precipitate (MSP).
Produk ini merupakan bahan baku produksi nikel sulphate atau kobalt sulphate yang menjadi bahan baku komponen baterai. Langkah tersebut juga dinilai menjadi jalan tengah untuk menutup kekosongan produksi lanjutan bijih nikel domestik nantinya.
Alasannya, pemerintah berencana untuk menyetop investasi pada pengadaan smelter nikel berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) karena produksi nickel pig iron (NPI) dan feronikel domestik yang berlebih. Kelebihan produk olahan bijih nikel kadar tinggi 1,5-3% itu belakangan menyebabkan harganya makin tertekan.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE), Taufik Bawazier mengatakan, kebutuhan nikel kadar rendah untuk bahan baku baterai kendaraan listrik akan naik berkala tiap tahun.
Kemenperin memproyeksikan kebutuhan bijih nikel limonite kadar rendah 0,8-1,5% pada 2025 mencapai 25.133 ton. Kebutuhan tersebut naik menjadi 37.699 ton pada 2030 dan 59.506 ton pada 2035.
"Kalau kami dari kacamata perindustrian memang harus lebih tinggi lagi nilai tambahnya. Cuma kan memang harus ada investasi dulu yang masuk ke sana," kata Taufik di Gedung Nusantara I DPR Jakarta pada Kamis (8/6).
Pembatasan pembangunan smelter nikel RKEF ditujukan untuk menjaga pasokan bijih nikel untuk suplai bahan baku produk lanjutan yang lebih hilir, seperti prekursor, katoda, hingga baterai. Moratorium penyediaan smelter RKEF dinilai penting untuk menambah alokasi suplai bijih nikel untuk smelter HPAL.
Hal ini juga dilakukan untuk menutup potensi impor bijih nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. "Makanya menurut saya pribadi, moratorium smelter RKEF investasinya dari hulu harus diarahkan sembari bergeser ke sektor hilir," ujar Taufik.
Sebelumnya, Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menilai positif rencana pemerintah untuk menghentikan izin investasi pada pengadaan smelter nikel berteknologi RKEF. Mereka menilai produksi komoditas hasil olahan bijih nikel kadar tinggi berupa feronikel, NPI, dan nikel matte domestik sudah berlebih.
“Sebaiknya saat ini sudah dilakukan moratorium, artinya izin baru untuk smelter pirometalurgi menurut pendapat saya tidak perlu lagi ada izin,” kata Ketua FINI, Alexander Barus di Hotel Westin pada Selasa (9/5).
Alex, yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), juga mengatakan bahwa pelaku usaha hulu tambang nikel kini kewalahan untuk memenuhi permintaan pasokan nikel saprolite ke perusahaan smelter pengolahan bijih nikel kadar tinggi tersebut.
Meski produksi bijih nikel kadar tinggi menyentuh 130 juta metrik ton per tahun, ujar Alex, jumlah tersebut tak sebanding dengan kemampuan dan kapasitas pengolahan seluruh smelter dalam negeri.