Dua Strategi Pengusaha Sawit Capai Target Produksi 100 Juta Ton 2045
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki menargetkan volume produksi sawit nasional mencapai 100 juta ton pada 2045. Setidaknya ada tiga strategi yang disiapkan pengusaha untuk mencapai target tersebut.
Sekretaris Jenderal Gapki Hadi Sugeng mengatakan strategi pertama adalah peremajaan perkebunan sawit. Menurutnya, 6,57 juta hektare (Ha) atau sekitar 40% dari total perkebunan sawit nasional memiliki pohon yang tua.
Dengan kata lain, produktivitas di 40% perkebunan sawit nasional telah menurun. Hadi menyatakan target ambisius penyelesaian isu tersebut adalah melakukan peremajaan pada 650.000-700.000 Ha lahan per tahun hingga 2034.
"Kalau itu tercapai, bisa kami kejar target produksi 2045 sejumlah 100 juta ton CPO. Saat ini target yang kami kompromikan adalah 180.000-200.000 Ha per tahun," kata Hadi dalam konferensi pers di Hotel Ayana Midplaza Jakarta, Selasa (27/2).
Hadi menilai pemenuhan target kompromi tersebut pun sulit dipenuhi. Sebab, realisasi peremajaan per tahun baru mencapai sekitar 50.000 Ha. Menurutnya, tantangan utama peremajaan sawit saat ini adalah legalitas.
Untuk diketahui, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS meluncurkan program Peremajaan Sawit Rakyat atau PSR. Hadi menilai perkebunan rakyat mengaku sulit untuk bergabung dalam program tersebut lantaran persyaratan yang belum sejalan dengan regulasi.
Selain itu, Hadi berpendapat kompensasi yang diberikan dalam program PSR terlampau rendah. Hadi mencatat nilai kompensasi yang diberikan PSR hanya Rp 30 juta per Ha. Sementara itu, Hadi menghitung biaya peremajaan kebun oleh perusahaan besar mencapai Rp 70 juta per Ha.
"Satu-satunya cara untuk menggenjot produktivitas untuk tanaman tua harus dengan peremajaan," ujarnya. Simak databoks berikut:
Pada saat yang sama, Hadi berencana mendatangkan bibit unggul dari Afrika dalam kegiatan peremajaan tersebut, khususnya bagi perkebunan rakyat. Hal tersebut penting untuk meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat yang kini hanya 2,5 ton per Ha.
Hadi mendata produktivitas perkebunan besar swasta kini antara 3-3,2 ton per Ha. Sementara itu, produktivitas perkebunan besar milik negara mencapai 3,4 sampai 3,6 ton per Ha.
Hadi menduga rendahnya produktivitas perkebunan rakyat disinyalir ketidaksesuaian data kebutuhan dan ketersediaan benih pada 1980-an. Alhasil, bibit untuk perkebunan rakyat banyak tercampur bibit tidak unggul.
"Varietas yang ditanam di perkebunan rakyat tidak semua varietas unggul, di samping kegiatan agronomis lainnya seperti pemupukan dan hal lainnya belum optimum," katanya.
Seperti diketahui, kegiatan peremajaan baru menunjukkan hasil 4 tahun setelah penanaman kembali dilakukan. Dalam waktu dekat, Hadi berencana mendatangkan varietas terbaru kumbang penyerbuk sawit dari Kamerun, yakni Elaeidobius kamerunicus Faust.
Hadi menjelaskan penyerbukan sawit mayoritas atau 90% dilakukan oleh Elaeidobius dan 10% oleh angin. Menurutnya, produktivitas penyerbukan oleh Elaeidobius eksisting telah menurun akibat hujan.
Alhasil, produktivitas perkebunan sawit nasional saat ini 30% lebih rendah dari yang seharusnya. Hadi menjadwalkan Elaeidobius anyar tersebut tiba di dalam negeri pada tahun ini. Namun kumbang tersebut akan dikembangbiakkan terlebih dahulu sebelum dilepas ke kebun-kebun sawit lokal.
"Harapan kami dengan Elaeidobius baru ini, jurang produktivitas antara riil dengan yang seharusnya menjadi hanya 10%," katanya. Dengan kata lain, Hadi memproyeksikan pengenalan Elaeidobius baru ke kebun sawit di dalam negeri dapat menggenjot produktivitas hingga 20% dalam waktu enam bulan.