Kementerian Ketenagakerjaan belum menerima laporan pemutusan kerja (PHK) 230 karyawan PT Sepatu Bata Tbk. Pemecatan terjadi karena perusahaan menutup operasional pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat, per 30 April lalu.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker Indah Anggoro Putri mengatakan, BATA harus memberikan hak pekerja apabila melakukan PHK. "Kalau bisnis bangkrut, maka semua hak pekerja harus diberikan sesuai peraturan. PHK harus disepakati," katanya kepada Katadata.co.id, Senin (6/5).
Hak tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Aturan ini menyebut hak pekerja saat terkena pemecatan adalah uang pesangon, uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang penggantian hak (UPH).
Secara rinci, besaran uang pesangon dibagi menjadi sembilan kelompok, yakni:
- Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
- Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
- Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
- Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
- Masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
- Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
- Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
- Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
PP Nomor 35 Tahun 2021 menuliskan, perusahaan hanya wajib memberikan uang pesangon sebesar 50% jika alasan PHK adalah pailit. Untuk besaran UPMK-nya adalah satu kali ketentuan.
Sepatu Bata Terus Merugi
Corporate Secretary Sepatu Bata, Hatta Tutuko, mengatakan manajemen telah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan produksi pabrik yang telah beroperasi selama nyaris 30 tahun tersebut. Namun, selama empat tahun berjalan di tengah kerugian, bisnis tetap tidak bisa pulih.
"Kerugian dan tantangan industri akibat pandemi, ditambah perubahan perilaku konsumen yang sangat cepat, tidak dapat membendung kerugian," kata dia pada Sabtu lalu.
Hatta mengatakan operasional pabrik di Purwakarta terpaksa dihentikan karena permintaan pelanggan terhadap jenis produk yang dibuat di pabrik tersebut terus menurun. Bahkan, ia menjelaskan, kapasitas produksi pabrik jauh melebihi kebutuhan di dalam negeri.
Produsen kasut asal Ceko tersebut tercatat mulai mencatatkan kerugian pada 2020. Berdasarkan penelusuran, Bata mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 177,76 miliar pada 2020. Pada 2021, catatan rugi bersih Bata menyusut sebesar 71,18% menjadi Rp 51,207 miliar.
Kerugian tersebut disebabkan angka penjualan yang tidak mencapai target. Pada 2021, penjualan Bata tercatat merosot 4,57% menjadi Rp 438,48 miliar. Besarnya beban penjualan dan pemasaran menjadi tekanan tambahan yang besar bagi Bata dengan nilai sebesar Rp 194,019 miliar.
Pada 2022, catatan kerugian Bata justru semakin membengkak, meskipun terdapat sedikit perbaikan pada tahun sebelumnya. Saat itu, Bata membukukan kerugian sebesar Rp 105,91 miliar atau meroket sebesar 106,85% dalam setahun.
Kinerja Bata semakin terpuruk pada 2023. Bata mencatatkan peningkatan kerugian sepanjang Januari-September 2023 dengan nilai Rp 80,65 miliar, atau meningkat 46,74% dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar Rp 20,43 miliar.