Imbas Tarif AS, Pemerintah Bakal Longgarkan TKDN Produk Apple hingga Microsoft

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/sgd/Spt.
Presiden Prabowo Subianto (tengah) menyampaikan pengarahan dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Senayan, Jakarta, Selasa (8/4/2025). Acara bertema Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Indonesia di Tengah Gelombang Perang Tarif Perdagangan itu dihadiri jajaran menteri, Dewan Ekonomi Nasional, BI, OJK LPS dan sejumlah pemangku kepentingan.
9/4/2025, 05.04 WIB

Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pemerintah tengah mengkaji Deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs) melalui relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk produk-produk teknologi AS.

Hal ini disampaikan Airlangga dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4). Agenda ini turut dihadiri Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Kebijakan ini disiapkan sebagai bagian dari strategi Indonesia dalam negosiasi dagang dengan AS, terutama dalam merespons pengenaan tarif impor dari Presiden Donald Trump yang mencapai 32% terhadap produk Indonesia.

Rencananya, sektor yang akan mendapat pelonggaran TKDN adalah sektor Information and Communication Technology (ICT) seperti produk dari General Electric (GE), Apple, Oracle dan Microsoft.

Selain pelonggaran TKDN, pemerintah juga akan melakukan penyeimbangan terhadap neraca perdagangan dengan AS melalui pembelian produk dari AS seperti kedelai, pembelian peralatan mesin, LPG, LNG, dan migas. 

Untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah menyiapkan berbagai insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, guna mendorong impor dari AS sekaligus menjaga daya saing ekspor nasional ke pasar AS.

Airlangga menjelaskan bahwa beberapa produk ekspor unggulan Indonesia seperti pakaian dan alas kaki yang memiliki berpeluang besar melakukan penetrasi pasar.

Hal ini didukung oleh tarif ekspor Indonesia yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara pesaing seperti Vietnam (46%), Bangladesh (37%), dan Kamboja (49%).

Airlangga menilai Indonesia memiliki fleksibilitas yang lebih besar untuk menyeimbangkan Neraca Perdagangan dengan AS melalui peningkatan impor barang dari AS.

"Dengan surplus yang kecil dan ketergantungan yang rendah, Indonesia berada dalam posisi yang lebih aman dan strategis untuk memperkuat kerja sama dagang dengan AS," ucap Airlangga.

Susun Aturan TKDN yang Realistis

Prabowo meminta jajaran kabinetnya untuk menyusun aturan terkait TKDN secara lebih fleksibel dan realistis. Ia menilai kebijakan TKDN yang terlalu kaku justru bisa melemahkan daya saing industri nasional.

“TKDN sudah lah, niatnya baik, nasionalisme. Saya ini, kalau jantung saya dibuka, mungkin yang keluar Merah Putih. Tapi kita harus realistis. Kalau TKDN dipaksakan, akhirnya kita kalah kompetitif,” ujar Prabowo.

Alih-alih memaksakan target kandungan lokal, Prabowo mengusulkan pendekatan insentif sebagai alternatif. Ia pun secara langsung menginstruksikan para menterinya untuk merumuskan regulasi TKDN yang sesuai dengan kapasitas industri dalam negeri.

“Tolong para menteri, sudah lah. TKDN dibikin yang realistis saja. Masalah ini luas, menyangkut kemampuan dalam negeri, pendidikan, iptek, sains. Ini nggak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi,” ujarnya.

Pernyataan Prabowo ini merespons masukan dari Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, yang menyampaikan sejumlah tantangan ekonomi Indonesia, mulai dari tekanan fiskal, nilai tukar rupiah, hingga deindustrialisasi.

“Kita hadapi trade war. Ini tantangan tapi juga peluang luar biasa. Kami mengusulkan deregulasi masif dan total. Kita harus bisa eye to eye dengan Vietnam. Vietnam tidak ada premanisme, tidak ada polisi di pasar modal, TKDN mereka fleksibel,” kata Wijayanto.

Ia juga menyoroti pentingnya kebangkitan sektor manufaktur, yang belum pulih sepenuhnya pasca-pandemi. “Sebelum Covid, output manufaktur kita 75%, turun jadi 50%, sekarang baru 65%. Kita harus dorong kembali ke 75%,” ucapnya.

Selain itu, dia mengusulkan pendekatan khusus terhadap AS, terutama jika Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS. Menurutnya, pendekatan bilateral lebih disukai Trump dibanding multilateral.

“Kalau berkenan, hubungi Trump langsung. Ini bisa bantu menteri kita dalam negosiasi dengan AS. Idealnya, kita pakai jalur mandiri, agar bisa menavigasi preferensi Trump yang tidak suka pendekatan kolektif,” ujarnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari