Di saat dunia sedang fokus menangani pandemi corona, Tiongkok terus berusaha melakukan kontrol militer di Laut Cina Selatan. Sebuah kapal milik Beijing telah berhari-hari membututi kapal Petronas, perusahaan minyak Malaysia, yang melakukan pengeboran dan eksplorasi di perairan itu.
Aksi tersebut membuat tiga kapal perang milik Amerika Serikat bergabung dengan kapal fregat Australia. Keempatnya unjuk kekuatan dan bergerak ke wilayah yang menjadi sengketa. Lokasi persisnya berada di perairan yang diklaim milik Vietnam dan Malaysia, tapi diakui oleh Tiongkok.
Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein mengatakan, tetap berkomitmen melindungi kepentingan dan hak negaranya. Segala konflik harus diselesaikan dengan cara damai.
"Kehadiran kapal dan kapal perang di Laut Cina Selatan berpotensi meningkatkan ketegangan, yang dapat berujung pada salah perhitungan dan mungkin berpengaruh terhadap perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan tersebut," kata Hishammuddin, Kamis (23/4), seperti dikutip dari Antara.
Aksi agresif pemerintah Tiongkok di perairan itu terus meningkat selama beberapa bulan terakhir. “Ini adalah strategi yang cukup disengaja untuk mencoba memaksimalkan tekanan,” ucap Peter Jennings, mantan pejabat pertahanan Australia kepada New York Times.
(Baca: AS vs Cina, Pertarungan di Laut Cina Selatan di Tengah Covid-19)
Bahkan ketika virus corona menjadi wabah besar di Negeri Panda, Beijing tak mengurangi kegiatannya di Laut Cina Selatan. Jalur yang dilalui sepertiga arus pelayaran global itu memang strategis. Letaknya berbatasan dengan banyak negara, termasuk Taiwan, Singapura, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Saat wabah Covid-19 mulai terjadi, pada Januari 2020, kapal Tiongkok beberapa kali berselisih dengan nelayan di perairan itu, termasuk Indonesia. Awal bulan ini, Vietnam menuduh kapal patroli Tiongkok sengaja menabrak dan menenggalamkan kapal nelaya negaranya.
Bulan lalu, Beijing mengumumkan telah mendirikan dua distrik baru di Laut Cina Selatan. Cakupannya termasuk puluhan pulau dan terumbu karang yang diperebutkan.
“Tampaknya, ketika Tiongkok memerangi wabah penyakit, mereka juga memikirkan tujuan strategis jangka panjang,” ujar Alexander Vuving, profesor di Pusat Keamanan Daniel-Inouye Asia Pasifik untuk Studi Keamana di Hawai, AS.
(Baca: Pemerintah Tiongkok Akui Nelayannya Tangkap Ikan di Natuna)
Pemicu Sengketa Tiongkok dan Malaysia di Laut Cina Selatan
Drama ini sudah terjadi berbulan-bulan. Tiongkok dan Malaysia terus bersitegang di wilayah sengketa Laut Cina Selatan. Bloomberg menuliskan sejak Desember, kapal Petronas mulai menjelajahi perairan yang diklaim milik Cina dan Vietnam.
Kedua negara kemudian mengirim kapal untuk membayangi kapal Malaysia tersebut. Pada 16 April, Reuters melaporkan kapal surveyor dari Tiongkok, Haiyang Dizhi 8, masuk ditemani kapal penjaga pantai yang dikirim oleh Beijing. Aksi ini kemudian yang mendorong AS dan Australia untuk turun tangan.
Aksi unjuk kekuatan ini terus-menerus terjadi. Haiyan Dizhi kemarin masih berada dalam zona ekonomi eksklusif Malaysia, sekitar 209 mil (sekitar 387 kilometer) dari Kalimantan, menurut pelacakan kapal MarineTraffic.
Tiga kapal milik AS dan satu fregat Australia sebenarnya sedang mengadakan latihan bersama. Melihat situasi yang tidak kondusif, keempatnya lalu merapat ke arah wilayah sengketa tersebut.
(Baca: Insiden Natuna dan Kusutnya Sengketa Laut Cina Selatan)
Tiongkok Dirikan Dua Distrik Baru di Laut Cina Selatan
Beijing baru-baru ini mengumumkan pendirian administrasi baru di perairan Laut Cina Selatan. Ada dua kabupaten baru yang berada di bawah wewenang pemerintahan Sansha, sebuah pulau di selatan Hainan. Distri baru ini akan memerintah Paracels dan Macclesfield Bank, daerah yang diklaim oleh Vietnam dan Taiwan, serta Kepulauan Spratly yang tumpang tindih dengan negara lainnya.
Business Insider menuliskan selama enam tahun terakhir, Tiongkok terus berupaya memperluas kontrolnya dengan membangun pulau buatan dan fasilitas militer. “Dewan Negara menyetujui pembentukan distrik Xisha dan Nasha di bawah kota Sansha,” tulis Departemen Urusan Sipil pada Sabtu lalu.
Pemerintahan Xisha akan berbasis di Pulau Woody atau Pulau Yongxing. Sementara, pemerintahan Nansha di Fiery Cross Reef atau Yongshu Reef. Klaim ini bertentangan dengan Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei.
“Karena pulau-pulau buatan dan infrastruktur penting di daerah itu sudah ada dengan baik, sekarang adalah waktu yang tepat untuk membuat kontrol administratif di daerah tersebut,” ujar Kang Lin, profesor dari Universitas Hainan.
(Baca: Dasar Hukum Klaim Laut Natuna Versi Indonesia vs Tiongkok)