Buntut Cek Fakta Twitter, Trump Lancarkan 'Perang' dengan Media Sosial
Cek fakta yang dilakukan Twitter terhadap cuitan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melalui akun @realDonaldTrump terkait kemungkinan manipulasi dalam pemilu November 2020, memicu perseteruan yang serius.
Pada Kamis (28/5) malam waktu setempat, Trump telah menandatangani surat perintah eksekutif (executive order) untuk menerbitkan aturan baru yang berpotensi melemahkan atau bahkan mencabut undang-undang (UU) perlindungan perusahaan internet, termasuk Twitter dan Facebook.
Trump disebutkan ingin mengubah atau menghapus ketentuan UU yang dikenal sebagai “section” atau pasal 230 yang melindungi perusahaan media sosial dari tanggung jawab atas konten yang diposting oleh penggunanya.
“Saya pikir kami akan mengaturnya. Jaksa Agung William Barr akan segera menyusun UU untuk mengatur perusahaan media sosial,” kata Trump seperti dikutip Reuters, Jumat (29/5).
(Baca: Trump vs Twitter dalam Isu Manipulasi Pemilu dan Pembunuhan Politisi)
Bahkan dia mengklaim pihak oposisinya, yakni partai demokrat, turut mendukung rencana ini. “Saya telah ditelpon oleh (anggota) partai demokrat yang juga ingin melakukan ini. Jadi anda akan melihat situasi bipartisan,” ujar Trump yang merupakan partai Republik.
Adapun Twitter tidak memberi komentar terkait upaya Trump mengatur platform media sosial lebih ketat. Namun juru bicara Google, mengatakan bahwa upaya Trump melemahkan pasal 230 seperti ini akan melukai ekonomi AS dan kepemimpinan globalnya atas kebebasan berinternet.
Sementara itu juru bicara Facebook mengatakan bahwa membatalkan atau membatasi ketentuan ini akan melemahkan kebebasan berbicara secara online dan mendorong platform media sosial untuk menyensor apa pun yang mungkin menyinggung orang lain.
Pengacara Amandemen Pertama Floyd Abrams mengatakan langkah ini menjadi upaya kesekian Trump dalam menggunakan jabatannya sebagai presiden untuk memaksa perusahaan swasta mengubah kebijakannya yang tidak sejalan atau mendukung dia.
(Baca: Khawatir Ribut dengan Trump, Inggris Kaji Blokir Layanan 5G Huawei)
Adapun Trump, yang menggunakan Twitter hampir setiap hari untuk mempromosikan kebijakannya dan menyerang lawan-lawannya, telah lama mengklaim bahwa media sosial tersebut bias dalam mendukung Demokrat, tanpa disertai dengan bukti.
Dia mengatakan bahwa tidak ada yang ingin dia lakukan selain menutup akun Twitter-nya. Namun dia harus menggunakannya untuk melawan berita-berita (yang menurutnya bohong) di media dan menyampaikan kebenaran menurut versinya tentang peristiwa tertentu kepada jutaan pengikutnya.
Chief Executive Officer (CEO) Twitter, Jack Dorsey, melalui situs resmi perusahaan mengatakan, “tweet Presiden Trump dapat menyesatkan orang sehingga berpikir mereka tidak perlu mendaftar untuk mendapatkan surat suara. Tujuan kami adalah menghubungkan pernyataan yang saling bertentangan dan menunjukkan informasi yang diperselisihkan sehingga orang dapat menilainya sendiri".
Sampau dengan Rabu (27/5) malam, Twitter terus menambahkan label cek fakta terhadap berbagai cuitan “tipu daya media” dari ratuwan tweet yang ada.
(Baca: Kerap Bersitegang dengan Trump Soal Virus Corona, Siapa Anthony Fauci?)
Salah satunya yaitu cuitan Trump terkait manipulasi dalam pemilu 2020. “Kotak suara akan dirampok, surat suara akan dipalsukan, bahkan dicetak secara ilegal dan ditandatangani secara curang,” cuit @realDonaldTrump.
Twitter pun membalas cuitan tersebut, “Trump keliru mengklaim surat suara secara langsung akan mengarah pada pemalsuan pemilu”, seperti dukutip dari AFP, Rabu (27/5).
Hasil pemeriksaan fakta Twitter mengungkapkan bahwa tidak ada bukti dari klaim Trump. Surat suara yang digunakan dalam pemungutan suara tidak mengarah pada kecurangan pemilu.
Namun Trump menuduh balik Twitter yang menurutnya telah mencampuri urusan pemilu presiden AS 2020. “Twitter benar-benar melumpuhkan kebebasan berbicara. Dan saya, sebagai presiden, tidak akan membiarkan itu terjadi!” kata Trump.