Walmart & Apple Dijarah, Bisnis Retail AS Makin Terpuruk saat Pandemi

ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Drake/aww/cf
Warga membakar barang-barang yang dijarah dari CVS Pharmacy saat unjuk rasa di seluruh negeri menyusul kematian George Floyd saat ditahan oleh polisi Minneapolis, di Raleigh, North Carolina, Amerika Serikat, Sabtu (30/5/2020).
Penulis: Sorta Tobing
2/6/2020, 17.47 WIB

Setelah pandemi corona, bisnis retail di Amerika Serikat kini harus menghadapi dampak aksi kerusuhan dalam sepekan terakhir. Beberapa menghadapi kerusakan parah, sebagian besar terpaksa menutup usahanya.

Kerusuhan itu merupakan bagian aksi unjuk rasa yang terjadi di AS. Para demonstran menuntut keadilan atas kematian warga kulit hitam bernama George Floyd. Dugaan kuat Floyd tewas ketika ditangkap pihak kepolisian Minnesota, Minneapolis, pada Senin pekan lalu.

Setelah tangannya diborgol, Floyd dipaksa untuk tengkurap di pinggir jalan. Lalu, polisi bernama Derek Chauvin menekan lututnya pada leher Floyd selama sekitar delapan menit. Walaupun pria berusia 46 tahun itu sudah berkata tidak bisa bernapas, Chauvin tetap melakukan hal tersebut sampai akhirnya Floyd tewas.

Video yang beredar di media sosial membuat gelombang demonstrasi menyebar cepat di AS. Mereka tak puas ketika Chauvin hanya dituntut pembunuhan tingkat tiga atau tidak sengaja melakukan kejahatan. Beberapa demonstran yang tak sabar mulai melakukan kerusuhan hingga penjarahan.

(Baca: Sejarah dan Fasilitas Bungker Gedung Putih Tempat Trump Dilarikan)

New York Times melaporkan, para perusuh menghancurkan pintu depan retail raksasa Walmart di Peoria, Illinois. Mereka juga menyapu bersih toko Apple di Philadelphia. Jendela toko retail Nordstorm di Seattle pun tak luput dari perusakan. Barang-barang produk high-end Louis Vuitton di Oregon habis tak bersisa.

Walmart dan Apple pada Ahad lalu terpaksa menutup ratusan tokonya untuk menghindari penjarahan. Amazon melakukan penyesuaian rute dan mengurangi operasi pengiriman di beberapa kota.

Semua langkah itu membuat bisnis retail terpaksa mengurangi operasi. Padahal Maret lalu sektor ini berjuang keras agar tidak mengalami penurunan pendapatan karena pandemi Covid-19. “Karena kerusuhan datang dari belakang pandemi, ini menghancurkan bisnis mereka,” kata Neil Saunders, seorang analis ritel di GlobalData Retail, mengutip dari Washington Post, Selasa (2/6).

(Baca: Mark Zuckerberg Tak ‘Sanksi’ Trump, 600 Pegawai Facebook Mogok Kerja)

Kerusuhan yang terjadi di AS sebagai respon kematian warga kulit hitam bernama George Floyd. (ANTARA FOTO/REUTERS/Lucas Jackson/wsj/dj)

Bagaimana Peretail Merespon Kerusuhan yang Terjadi?

Kerusuhan memang membuat bisnis retail menderita kerugian besar. Namun, gelombang protes atas keadilan warga minoritas membuat mereka pun bersuara. Nordstrom dalam situsnya menulis peristiwa yang terjadi sekarang menjadi pengingat menyakitkan bahwa ketidakadilan masih ada di dunia.

“Kami dapat memperbaiki kerusakan pada tokok kami. Jendela dan barang-barang bisa diganti. Kami terus percaya, perubahan besar diperlukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi warga kulit hitam di negara kita hari ini,” tulis Nordstrom.

Kepala eksekutif Walmart, Doug McMillon, dalam memo kepada karyawannya mengatakan untuk tetap berdiri bersama melawan rasisme dan diskriminasi. “Melakukan hal itu tidak hanya merupakan inti dari nilai-nilai perusahaan, tapi itu adalah inti dari prinsip-prinsip paling mendasar dari hak asasi manusia, martabat dan keadilan," ucapnya.

(Baca: Kerusuhan Pecah di AS, Trump Ancam Kerahkan Ribuan Militer)

Target, yang berbasis di Minneapolis, tempat Tn. Floyd terbunuh, mengatakan pada akhir pekan lalu sekitar 200 toko tutup atau memiliki jam kerja lebih pendek sebagai hasil dari protes dan penjarahan. “Sejak kami membuka pintu, Target telah beroperasi dengan cinta dan peluang yang sama untuk semua,” tulis kepala eksekutif Target yang berbasis di Minneapolis, Brian Cornell.

Eksekutif Starbucks sampai membuat forum bagi para karyawannya untuk membicarakan masalah dan perasaan mereka terkait kematian Floyd. Pemimpin senior Best Buy pun menulis catatan yang berisi komitmen pada tujuan keragaman dan inklusi di perusahaan.

(Baca: Hasil Otopsi: George Floyd Tewas akibat Sesak Napas dan Pembunuhan)

Pengunjuk rasa meletakkan bunga mengenang kematian warga kulit hitam AS bernama George Floyd. (ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria/foc/cf)

Kerusuhan di AS Dipicu Faktor Ekonomi?

Tak hanya peretail barang-barang kebutuhan pokok. Para perusuh juga mengambil kesempatan untuk menjarah barang-barang mewah atau high-end.

Pada hari Sabtu sampai Minggu lalu, jalan raya Atlantic Avenue, Brooklyn, New York, penuh pecahan kaca. Dinding di sepanjang jalan dihiasi coretan para demonstran. Di lingkungan elite Fifth Avenue, toko retail Kate Spade, Tory Burch, dan Victoria Secret jendelanya telah hancur berkeping-keping.

Lalu, di bagian barat AS, pemandangannya tak jauh berbeda. South China Morning Post menuliskan jendela dan dinding toko-toko barang mewah, seperti Hermes, Fendi, Dolce & Gabbana, dan Tiffany di Rodeo Drive penuh coretan bertuliskan pesan-pesan para demonstran, termasuk “living in hell” dan “eat the rich”.

Tak jauh dari jalan yang menjadi surga belanja para wisatan itu, terdapat Melrose Avenue. Di sini para perusuh memecahkan jendela hingga menjarah toko, termasuk Adidas.

(Baca: Kematian George Floyd & Data Pembunuhan Kulit Hitam oleh Polisi di AS)

Namun, beberapa para pemilik toko yang terkena dampak penjarahan ini justru tidak mengutuk perbuatan tersebut. “Jangan biarkan mereka meyakinkan Anda bahwa pecahan kaca atau properti adalah kekerasan. Properti dapat diganti, kehidupan manusia tidak bisa,” kata desainer Marc Jacobs, melalui akun Twitter-nya.  

Sejarawan University California, Los Angeles, Robin Kelley mengatakan penjarahan seringkali merupakan hasil dari orang-orang mengambil keuntungan dari momen kekacauan. “Terutama ketika mereka menderita secara ekonomi,” ucapnya kepada Washington Post.

Hal serupa juga terjadi ketika kerusuhan hebat terjadi di AS pada akhir 1960an dan awal 1970an. Sekarang pandemi Covid-19 dan sebanyak 40 juta orang mengajukan pengangguran, Kelley tidak terkejut hal serupa terulang lagi. “Kita sedang menghadapi krisis ekonomi,” katanya.

Profesor sosilogi Stanford University, Matthew Clair, tak sepakat memakai istilah penjarahan untuk perisitwa yang terjadi sepekan terakhir di AS. Pasalnya, pemicu protes adalah pembunuhan George Floyd. “Protes seperti ini sering diperlukan untuk membawa perubahan sosial yang positif dan transformatif,” ujar Clair.

(Baca: Dituduh Dalang Kerusuhan dan Dicap Teroris oleh Trump, Apa itu Antifa?)

Sebagian pebisnis retail dapat mengandalkan asuransi untuk kerusakan yang terjadi, menurut analis bisnis retail Forrester Sucharita Kodali. Dampak penjualan pun tidak terlalu signifikan karena di tengah pandemi memang sedikit sekali orang berbelanja di toko.

Dampak kerusakan tidak terlalu besar bagi perusahaan selevel Apple dan Target. Kemampuan mereka untuk memperbaiki toko sangat tinggi. Tapi bagi peretail kecil, uang asuransinya tak akan cukup untuk bertahan hidup di tengah pandemi dan kerusuhan.