Presiden AS Trump Minta ‘Jatah’ Atas Penjualan TikTok

ANTARA FOTO/REUTERS/Leah Millis/WSJ/dj
Presiden AS Donald Trump memberikan hadiah pena yang ia gunakan untuk menandatangani perintah eksekutif untuk menurunkan harga obat saat acara resmi penandatanganan di Kantor Eksekutif Eisenhower di Gedung Puith, Washington, Amerika Serikat, Jumat (24/7/2020).
Penulis: Desy Setyowati
6/8/2020, 18.37 WIB

Perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS), Microsoft berminat membeli aplikasi TikTok dari korporasi Tiongkok, ByteDance. Namun, Presiden AS Donald Trump meminta ‘jatah’ atas penjualan TikTok.

Reuters melaporkan, tuntutan seperti itu belum pernah terjadinya sebelumnya di AS. “Sebagian besar dari penawaran itu harus masuk ke Departemen Keuangan AS, karena kami memungkinkan kesepakatan ini terjadi," kata Trump kepada wartawan, dikutip dari Reuters, kemarin (5/8).

Trump mengatakan, pemerintah AS yang mengizinkan TikTok untuk beroperasi di Negeri Paman Sam. Oleh karena itu, ia menilai perlu ada alokasi khusus untuk pemerintah dari kesepakatan tersebut.

Ia menggambarkan, ‘jatah’ itu seperti sewa antara tuan tanah dan penyewa. Sebab, menurutnya pengguna di AS menopang kesuksesan TikTok. “Sebagian besar dari negara ini,” katanya, dikutip dari CNN Internasional.

Hanya, ia tidak menjelaskan secara spesifik siapa yang harus membayarkan ‘jatah’ tersebut. “Apakah itu Microsoft atau yang lain, atau jika itu dari Tiongkok, berapa harganya, AS harus mendapatkan persentase yang sangat besar dari harga (kesepakatan) itu,” kata dia.

Para ahli hukum mengatakan, regulasi terkait Dewan Investasi Asing AS atau The Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS) memang memberikan kewenangan kepada pemerintah AS untuk mencari celah keamanan.

Dalam kasus ini, CFIUS berencana mengkaji risiko keamanan data pribadi yang dimiliki TikTok. Alasannya, karena induknya berpusat di Tiongkok.

Oleh karena itu, TikTok mempertimbangkan beberapa opsi bisnis untuk keluar dari tekanan AS tersebut. Salah satu caranya, mengalihkan kepemilikan mayoritas TikTok.

Namun, CFIUS belum pernah meminta ‘jatah’ dari hasil divestasi atas kasus yang diselidiki sebelumnya.

CFIUS pun memberikan waktu hingga 15 September bagi ByteDance untuk bernegosiasi terkait penjualan TikTok. Valuasi TikTok disebut-sebut mencapai US$ 50 miliar atau sekitar Rp 730 triliun.

Namun, CNBC Internasional melaporkan, Microsoft diperkirakan membeli TikTok seharga US$ 30 miliar atau Rp 436 triliun.

Kendati begitu, pengacara di Cleary Gottlieb, Paul Marquardt menilai bahwa permintaan ‘jatah’ oleh Trump itu tidak sejalan dengan tugas dan fungsi CFIUS. “CFIUS sejak lama mempertahankan reputasi bertindak apolitis dan semata-mata atas dasar keamanan nasional, tetapi tidak jelas apakah itu di luar otoritas hukum presiden,” katanya.

Mantan penasihat utama Divisi Antitrust Departemen Kehakiman AS Gene Kimmelman pun menilai, permintaan Trump itu tidak memiliki dasar dalam undang-undang antimonopoli. "Ini sangat tidak biasa. Ini di luar norma," kata dia.

Bahkan, ia tak memahami ‘jatah’ yang dimaksud Trump. “Tidak pernah terjadi transaksi yang memiliki implikasi geopolitik yang lebih luas di antara negara-negara. Tetapi. cukup luar biasa untuk memikirkan semacam ‘uang di atas meja’ terkait transaksi,” ujarnya.

Namun, penasihat ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow tidak yakin apakah Trump akan benar-benar meminta ‘jatah’ atas kesepakatan itu. "Saya tidak yakin itu konsep khusus yang akan ditindaklanjuti," katanya kepada Fox Business News.