Krisis Listrik Menghantam Cina Lebih Keras Dibandingkan Evergrande

ANTARA FOTO/REUTERS/China Daily /aww/cf
Warga berdiri di samping bagian Sungai Yangtze yang melupan di taman samping sungai menyusul hujan lebat di daerah tersebut, di Wuhan, provinsi Hubei, China, Rabu (26/5/2021).
Penulis: Yuliawati
29/9/2021, 17.09 WIB

Di tengah kasus krisis utang yang menjerat perusahaan raksasa properti Evergrande, Cina terbelit persoalan listrik. Krisis listrik ini diperkirakan dapat menghantam ekonomi Cina jauh lebih keras dibandingkan kasus Evergrande.

Analis memperkirakan kondisi krisis listrik dan juga kasus Evergrande akan menyusutkan pertumbuhan ekonomi Cina pada kuartal tahun ini. “Perhatian pasar yang sekarang terfokus pada Evergrande dan pembatasan Beijing pada sektor properti, kejutan dari sisi lainnya terlewatkan,” kata nalis Nomura Holding Inc., Ting Lu, dikutip dari Bloomberg.

Dampak perlambatan ekonomi Cina akan berdampak secara global. “Pembatasan listrik akan beriak dan berdampak pada pasar global,” kata Lu. “Pasar global akan segera merasakan kekurangan pasokan dari produk tekstil, mainan hingga suku cadang mesin.”

Saat ini pemerintah Cina membatasi penggunaan listrik seiring konsumsi listrik yang terus meningkat sedangkan harga batu bara dan gas terus melonjak. Analis Morgan Stanley mengatakan 60-70% pembangkit listrik tenaga batu bara melaporkan kerugian karena harga yang tinggi. Selain itu, penambang tidak memenuhi kontrak pasokan jangka panjang.
 
Bloomberg menyebutkan krisis listrik ini membuat 20 dari 34 provinsi di wilayah Cina mengumumkan pemadaman listrik terutama bagi industri berat. Ke-20 provinsi tersebut menyumbang 66% terhadap produk domestik bruto (PDB) Cina.

Pembatasan penggunaan listrik termasuk di kawasan industri utama seperti Jiangsu, Zhejiang dan Guangdong. Tiga provinsi ini dikenal sebagao kekuatan industri yang menyumbang hampir sepertiga dari ekonomi Cina.

Cina meminta berbagai industri manufaktur dalam negeri, mulai dari peleburan aluminium, produsen tekstil hingga pabrik pengolahan kedelai, untuk mengurangi aktivitasnya atau menutup sama sekali.

Pemasok perusahaan besar seperti Apple dan Tesla pun terpaksa menutup sementara pabriknya karena kota tempat mereka beroperasi, yakni Shenyang dan Dalian menerapkan penjatahan listrik.

Economic Information Daily melaporkan, provinsi Guangdong yang merupakan pusat industri selatan dengan ekonomi lebih besar dari Australia telah membatasi penggunaan listrik sebanyak 15 gigawatt. Permintaan di provinsi ini melonjak hingga mencapai 141 gigawatt, naik 11% dari tahun lalu.

Selain meminta pabrik-pabrik menghentikan produksi, penduduk di Guandong juga diminta mengurangi penggunaan listrik dengan diminta mengandalkan cahaya alami, dan membatasi penggunaan AC.

Cina bakal menghadapi risiko kekurangan batu bara dan gas — yang digunakan untuk memanaskan rumah dan pabrik listrik — pada musim dingin ini.

Upaya untuk meningkatkan pasokan batu bara pun terkendala harganya yang kini telah menembus US$ 200 per ton di pasar komoditas Cina. Adapun negara produsen batu bara, seperti Rusia, Mongolia Dalam, dan Indonesia, tidak bisa segera meningkatkan alokasinya untuk Cina karena beberapa kendala.

Adapun, harga gas alam dari Eropa ke Asia telah melonjak ke level tertinggi musiman karena banyak negara berupaya mengamankan pasokan.

Persoalan krisis listrik ini dianggap sebagai ancaman ekonomi setelah lepas dari tekanan pandemi. Cina menargetkan pertumbuhan tahun ini sebesar 6% setelah ekspansi 12,7% di semester pertama. Berikut pertumbuhan ekonomi Cina setahun terakhir: