Pada 1992, pemimpin Cina Deng Xiaoping mengucapkan sesuatu yang belum sepenuhnya dimengerti oleh dunia ketika itu. Dia berucap, “Timur Tengah memiliki minyak. Cina memiliki logam tanah jarang.”
Dunia belum mengetahui kalau mineral tanah jarang ini akan menjadi tulang punggung industri manufaktur sebagai bahan baku penting untuk memproduksi barang-barang berteknologi tinggi. Ketika itu memang belum ditemukan atau dikembangkan, atau teknologinya baru mulai dikembangkan.
Sebut saja seperti ponsel pintar atau smartphone dan mobil listrik. Lalu mineral ini juga penting dalam memproduksi alat pertahanan dan senjata, turbin angin untuk pembangkitan listrik, hingga mesin pesawat terbang.
Bahkan Cina rela untuk mencemari alamnya untuk mengekstraksi logam tanah jarang. Sebab bahan kimia yang digunakan untuk mengekstraknya dari bijih menciptakan limpasan beracun, dan selama bertahun-tahun Cina bersedia menanggung biaya itu daripada negara lain.
Pengorbanan itu pun mulai membuahkan hasil. Menurut data Center for Strategic and International Studies (CSIS)-China Power, produksi logam tanah jarang Cina melonjak dari sekitar 8.500 ton pada 1985 menjadi 130.000 ton pada 2011, porsinya mencapai 97,7% dari total produksi dunia. Simak databoks berikut:
Melihat dominasi Cina ini, negara lain yang memiliki cadangan logam tanah jarang mulai berupaya mengekstraksi dan memproduksinya. Salah satu yang paling getol untuk mengejar ketertinggalannya yaitu Amerika Serikat (AS). Apalagi AS sempat mengungguli Cina pada periode 1985 sampai 1991.
Namun setelah itu tingkat produksi AS terus menyusut, sebaliknya Cina terus meningkatkan produksinya. Pada 2019, produksi logam tanah jarang AS hanya mencapai sekitar 26.000 ton atau 12,4% atau dari total produksi global 210.000 ton, berbanding Cina 132.000 ton atau 62,8%.
Walaupun menurut data BP Statistical Review of World Energy, Negeri Panda “hanya” menguasai sekitar 44% cadangan mineral langka ini di dunia. Simak databoks berikut:
Kebijakan yang Diterapkan Lebih dari 30 Tahun Lalu
Lalu apa yang dilakukan Cina dalam menggenjot produksi logam tanah jarang hingga mampu mendominasi produksi global hingga saat ini?
Indonesia, melalui Kementerian ESDM menuding, Cina menutupi teknologi yang digunakannya dalam mengekstraksi logam tanah jarang. Akibatnya Cina berhasil mengungguli negara-negara lain yang juga tengah berupaya meningkatkan produksinya.
"Cina tak terbuka karena mereka mencoba menciptakan industri produsen logam tanah jarang. Sehingga mereka bisa menguasai produksinya," kata Deputi Direktur Pengawasan Eksplorasi Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Andri B. Firmanto, Senin (13/12).
Namun apa yang dilakukan Cina lebih dari sekedar menutupi penguasaan teknologinya. Laporan CSIS China Power menyebutkan bahwa dominasi Cina pada industri logam tanah jarang merupakan hasil dari kebijakan industri yang ditargetkan selama beberapa dekade terakhir.
“Dalam beberapa tahun terakhir Beijing juga berupaya mereformasi industri tanah jarang untuk meningkatkan efisiensi, melindungi lingkungan dengan lebih baik, dan menindak penambangan ilegal,” tulis laporan CSIS, dikutip Selasa (14/12).
Menurut laporan itu, pemerintah Cina mengambil langkah besar untuk mendukung industri tanah jarang yang baru lahir dengan mengeluarkan potongan pajak ekspor pada pertengahan 1980-an. Potongan pajak itu menurunkan biaya yang dikeluarkan perusahaan tambang Cina untuk masuk ke pasar global.
Ketika kapasitas penambangan meningkat, produsen tanah jarang di negara lain mulai mengalihkan produksi mereka ke Cina untuk mengambil keuntungan dari biaya tenaga kerja yang rendah dan peraturan lingkungan yang lemah.
Namun, pada 1990, pemerintah Cina menyatakan tanah jarang dilindungi dan mineral strategis, yang melarang perusahaan asing menambang tanah jarang di Cina dan membatasi partisipasi asing dalam proyek pengolahan tanah jarang, kecuali dalam usaha patungan dengan perusahaan Cina.
“Hal ini memungkinkan perusahaan Cina untuk mendapatkan pengetahuan asing melalui kemitraan ini sambil terus memotong persaingan asing dari rantai pasokan,” tulis laporan CSIS.
Langkah-langkah ini berhasil mengembangkan industri tanah jarang Cina. Namun kebijakan terpenting menurut CSIS adalah kebijakan tentang kuota ekspor yang diterapkan mulai akhir tahun 1990-an.
Ketika itu Beijing mulai memberlakukan kuota berjenjang yang dirancang untuk mencegah ekspor produk hulu yang lebih murah seperti bijih mentah dan mendorong ekspor oksida, logam, dan paduan-bentuk mineral tanah jarang yang siap digunakan dalam produk hilir.
Pemerintah Cina terus memperketat kuota ekspornya dan kemudian tiba-tiba memangkasnya menjadi hanya sebesar 37% pada 2010, yang berarti hanya 30.259 ton logam tanah jarang yang dapat diekspor. Simak databoks berikut:
Langkah ini menyebabkan harga rata-rata impor tanah jarang global meroket dari US$ 9.461 per ton pada 2009 menjadi hampir US$ 66.957 pada 2011. Banyak produsen di AS, Jepang, dan Eropa dibiarkan berjuang untuk membeli pasokan tanah jarang, sementara Cina menikmati melimpahnya persediaan.
Pasokan logam tanah jarang dalam negeri yang murah dan berlimpah memberi kesempatan bagi produsen Cina untuk meningkatkan produksi produk-produk utama seperti magnet permanen, yang merupakan bagian integral dari fungsi turbin angin, kendaraan hybrid, dan teknologi canggih lainnya.
Kebijakan ini memungkinkan Ciina untuk menangkap hampir semua potensi pasar global. Pada 2019, Cina masih memproduksi sekitar 85% oksida tanah jarang dunia dan sekitar 90% logam tanah jarang, paduan, dan magnet permanen.
Sebabkan Sengketa Dagang Hingga Menjadi Alat Politik
Meski berhasil, kebijakan Beijing menempatkan China di garis bidik importir tanah jarang utama. Pada 2012, Amerika, Uni Eropa, dan Jepang menggugat kebijakan perdagangan luar negeri Cina di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Mereka mengklaim bahwa kebijakan pemerintah Cina secara tidak adil menguntungkan industrinya dengan mengorbankan negara lain dan mematikan kompetisi. Beberapa perusahaan tambang yang memproduksi logam tanah jarang pada akhirnya bangkrut karena kebijakan Cina.
Seperti perusahaan tambang besar asal Amerika Molycorp, yang bangkrut pada masa pemerintahan Presiden Richard Nixon lantaran mahalnya biaya produksi dan tenaga kerja, serta kebijakan lingkungan yang lebih ketat di Amerika.
Pada 2014 WTO akhirnya mengabulkan gugatan yang digawangi AS, UE, dan Jepang tersebut pada 2014, dan pada 2015 Cina akhirnya mengakhiri sistem kuota ekspornya.
Selain itu sejumlah laporan lainnya menyebutkan bahwa dominasi Cina pada industri logam tanah jarang dunia menjadi alat politik yang digunakan untuk menekan negara lain. Seperti ketika Cina memangkas kuota ekspor ke Amerika sebagai response dari penjualan senjata Washington ke Taiwan.
Atau pada 2010, ketika Cina memangkas kuota ekspornya secara signifikan ke seluruh dunia, dan sama sekali menutup akses Jepang terhadap logam tanah jarang selama dua bulan. The Guardian melaporkan bahwa langkah tersebut untuk merupakan upaya untuk menekan pemerintah Jepang agar melepas kapal penangkap ikan Cina yang ditahan karena menangkap ikan secara ilegal di perairan Jepang.
Namun hampir satu dekade kemudian, Cina kembali menggunakan logam tanah jarang sebagai alat untuk meningkatkan pengaruhnya di dunia dalam perang dagang dengan Amerika. Pada Mei 2019 Presiden Cina Xi Jinping mengunjungi ke fasilitas produksi logam tanah jarang di provinsi Jianxi. “Banyak yang menerjemahkan kunjungan itu sebagai peringatan kepada AS,” tulis laporan CSIS.
Kemudian sebuah artikel yang diterbitkan People’s Daily nampaknya mengkonfirmasi kekhawatiran tersebut dengan melaporkan bahwa Cina kemungkinan akan memangkas ekspor logam tanah jarang ke Amerika untuk memenangi perang dagang.
Terbukti, beberapa hari kemudian pemerintah Cina menaikkan tarif ekspor logam tanah jarang ke Amerika dari 10% menjadi 25%. Pemerintahan Presiden Donald Trump dilaporkan menyiapkan rencana tarif baru untuk komoditas logam tanah jarang Cina, namun tidak pernah diimplementasikan karena takut perusahaan AS tak memiliki alternatif lain untuk mendapatkan pasokan mineral tersebut.
Para pembuat kebijakan di AS nampaknya paling mengkhawatirkan dampak dari pembalasan atas kenaikan tarif tersebut terhadap industri pertahanannya. Sebab banyak teknologi yang pembuatannya membutuhkan logam tanah jarang seperti sonar, peluru kendali, hingga mesin jet.
Menurut data Congressional Research Service, setiap pesawat tempur F-35 membutuhkan sekitar 427 kg logam tanah jarang. Sedangkan setiap kapal selam nuklir kelas Virginia membutuhkan hampir 4,2 ton.
Beberapa kebijakan lainnya yang fokus pada peningkatan efisiensi, membatasi kerusakan lingkungan, dan mengurangi penambangan ilegal telah dikeluarkan pemerintah Cina. Berikut daftarnya:
- Pada 2016, Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi China merilis Rencana Pengembangan Industri Tanah Langka (2016-2020), yang menetapkan sasaran untuk membatasi produksi pertambangan tanah jarang pada 140 metrik ton per tahun pada 2020, meningkatkan pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, dan memecahkan memberantas penambangan liar dan penyelundupan tanah jarang.
- Strategi “Made in China 2025” yang diumumkan pada 2015 bertujuan mengubah Cina menjadi pemimpin industri teknologi canggih yang penting dan strategis pada 2025.
- Dewan Negara China merilis buku putih, “Situasi dan Kebijakan Industri Tanah Langka China,” pada 2010, yang menguraikan tujuan untuk meningkatkan regulasi industri, mengurangi penggunaan sumber daya, dan meningkatkan perlindungan lingkungan.
- Program Jangka Menengah dan Panjang Nasional (MLP) untuk Pengembangan Sains dan Teknologi (2006-2020) mencantumkan tanah jarang di antara bahan-bahan utama yang diperlukan untuk mendukung industri dasar.