Biden Hingga Putin Ucapkan Belasungkawa Atas Wafatnya Ratu Elizabeth

ANTARA FOTO/REUTERS/Toby Melville/Pool /WSJ/dj
Ratu Inggris Elizabeth saat menghadiri upacara peringatan ulang tahun ke-94 dirinya di Istana Windsor di Windsor, Inggris, Sabtu (13/6/2020).
Penulis: Happy Fajrian
9/9/2022, 07.30 WIB

Ratu Elizabeth II meninggal dunia di rumahnya di Skotlandia pada Kamis (8/9). Berita itu mengejutkan tidak hanya warga Inggris, dengan belasungkawa mengalir dari para pemimpin di seluruh dunia.

“Warisannya akan tampak besar di halaman sejarah Inggris, dan dalam kisah dunia kita,” kata Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Reuters, Jumat (9/9). Dia memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di Gedung Putih.

Di Paris, walikota mengumumkan lampu Menara Eiffel akan dimatikan untuk menghormati kematian sang ratu. Sementara di Brasil, pemerintah mengumumkan tiga hari berkabung. Serta Majelis Umum dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sama-sama hening sejenak.

Bahkan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang hubungan negaranya dengan Inggris memburuk akibat perang di Ukraina, menyampaikan belasungkawa. Putin menyebut menyebut kematian Ratu Elizabeth sebagai kehilangan yang tidak dapat diperbaiki.

Ratu Elizabeth II, yang juga merupakan kepala negara tertua dan terlama di dunia, naik takhta setelah kematian ayahnya Raja George VI pada 6 Februari 1952, ketika dia baru berusia 25 tahun.

Dia dimahkotai pada bulan Juni tahun berikutnya. Penobatan pertama yang disiarkan di televisi adalah pendahuluan dari dunia baru di mana kehidupan para bangsawan menjadi semakin diteliti oleh media.

“Saya dengan tulus berjanji untuk melayani Anda, karena begitu banyak dari Anda berjanji untuk melayani saya. Sepanjang hidup saya dan dengan sepenuh hati saya akan berusaha untuk menjadi layak atas kepercayaan Anda,” katanya dalam pidato kepada rakyatnya di hari penobatannya.

Meskipun konon tingginya hanya sekitar 160 cm, dia mampu memimpin di setiap ruangan yang dia masuki. Terkenal karena pakaiannya yang cerah, dia dikatakan bergurau kalah hal itu agar: “Saya harus dilihat untuk dipercaya”.

Elizabeth menjadi raja pada saat Inggris masih mempertahankan sebagian besar kerajaan lamanya. Inggris bangkit dari kerusakan akibat Perang Dunia II, dengan penjatahan makanan masih berlaku dan kelas dan hak istimewa masih dominan di masyarakat.

Ketika itu Winston Churchill masih menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris, Josef Stalin masih memimpin Uni Soviet, dan Perang Korea masih berkecamuk.

Dalam dekade berikutnya, Elizabeth menyaksikan perubahan politik besar-besaran dan pergolakan sosial di dalam dan luar negeri. Kesengsaraan dalam keluarganya sendiri, terutama ketika perceraian Charles dan mendiang istri pertamanya Diana, dipertontonkan di depan umum.

Sementara tetap menjadi simbol stabilitas dan kesinambungan yang bertahan lama bagi warga Inggris pada saat ekonomi nasional relatif menurun, Ratu Elizabeth juga mencoba menyesuaikan institusi monarki kuno dengan tuntutan era modern.

“Dia telah berhasil memodernisasi dan mengembangkan monarki tidak seperti yang lain,” kata cucunya Pangeran William, yang sekarang menjadi pewaris takhta kerajaan, kata dalam sebuah film dokumenter 2012, yang dikutip Reuters.