Sektor properti di Cina saat ini tengah mengalami tekanan. Perusahaan properti besar di Cina, Evergrande Group, mengajukan perlindungan kebangkrutan Chapter 15 di pengadilan Manhattan, Amerika Serikat, pada pekan lalu.
Chapter 15 memungkinkan pengadilan Amerika dan pengadilan luar negeri menangani kasus kebangkrutan perusahaan.
Lilitan utang yang membelit Evergrande menjadi perbincangan sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2021, Evergrande memiliki utang senilai US$ 330 miliar atau setara Rp 4.400 triliun. Pada Juli tahun ini, perusahaan melaporkan kerugian gabungan periode 2021 dan 2022 mencapai US$ 81 miliar.
Potensi kebangkrutan Evergrande ini meningkatkan kekhawatiran meledaknya masalah properti di Cina. Kondisi ini dikhawatirkan akan membuat perekonomian Cina makin melambat.
Selama beberapa dekade, Evergrande merupakan salah satu pengembang real estate paling sukses di Tiongkok. Namun, sejak dua tahun lalu belakangan pemerintah Cina memperketat sektor properti.
Pemerintah pusat berupaya membatasi pinjaman berlebihan untuk mencoba memperlambat kenaikan harga rumah. Akibatnya, pengembang properti mulai kesulitan membiayai proyek.
Evergrande, yang memiliki utang jumbo, tidak dapat mengumpulkan uang tunai dengan cukup cepat untuk membayar utangnya. Bank tersebut mengalami gagal bayar pertama pada Desember 2021, sehingga memicu kepanikan pasar.
Gelombang gagal bayar pun terjadi. Pembangunan puluhan proyek ditangguhkan, menyebabkan banyak pembeli “pra-penjualan” tidak memiliki rumah baru dan beban utang yang besar.
Saat ini, Evergrande memiliki 1.300 proyek yang tersebar di 280 kota di Cina.
Selain Evergrande, raksasa properti Tiongkok lainnya, Country Garden, berpotensi mengalami kerugian hingga US$7,6 miliar dalam enam bulan pertama tahun ini.
Beberapa perusahaan terbesar di pasar real estat Tiongkok sedang berjuang untuk mendapatkan dana untuk menyelesaikan pembangunan.
“Kunci dari masalah ini adalah menyelesaikan proyek-proyek yang belum selesai karena hal ini setidaknya akan menjaga sebagian pembiayaan tetap mengalir,” kata Steven Cochrane dari firma riset ekonomi Moody's Analytics, dikutip dari BBC.
Krisis Properti di Tengah Perlambatan Ekonomi Tiongkok
Sektor properti di Tiongkok menyumbang 30% dari aktivitas ekonomi negara, dan lebih dari dua pertiga kekayaan rumah tangga terkait real estat.
Selain faktor bangkrutnya Evergrande, pasar properti lesu karena pembatasan Covid-19 yang melemahkan pertumbuhan ekonomi. Konsumen enggan membeli rumah baru karena tingginya angka pengangguran dan penurunan nilai properti.
Pada awal Juli, Cina mengalami deflasi karena penurunan harga konsumen. Turunnya harga konsumen ini pertama kalinya sejak dua tahun terakhir.
Impor dan ekspor negara tersebut juga turun tajam pada bulan lalu karena melemahnya permintaan global. Kondisi ini mengancam prospek pemulihan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Ekspor turun 14,5% pada bulan Juli dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan impor turun 12,4%.
Bank sentral Tiongkok pun memangkas suku bunga utama untuk kedua kalinya dalam tiga bulan. Langkah untuk meningkatkan perekonomian.