Petani Klaim Produksi Garam Lokal Sudah Penuhi Standar Mutu

ANTARA FOTO/Saiful Bahri
Petani memanen garam di lahan garam konvensional di Desa Bunder, Padewamu, Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (25/7).
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
31/1/2018, 18.21 WIB

Petani garam mengklaim sebagian besar produksi garam nasional sudah bisa memenuhi persyaratan kualitas yang dibutuhkan industri. Karenanya, petani menolak upaya pemerintah mengimpor garam sesuai dengan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin menuturkan bahwa saat ini garam lokal sudah bisa digunakan memenuhi kebutuhan industri aneka pangan, ikan asin, perminyakan kulit, pakan ternak, es, tekstil, dan pengeboran minyak. Dengan demikian, wacana impor garam dianggap sebagai akal-akalan pengusaha semata.

Meski begitu, dia mengakui bahwa garam lokal saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan industri chlor alkali plant (CAP), kertas, dan farmasi. Pasalnya, butuh kadar NaCl dalam garam minimal harus mencapai 97%. Sedangkan, garam lokal belum bisa memproduksi dengan kadar yang lebih tinggi.

(Baca: Pengusaha Makanan Sebut Mutu Garam Lokal Tak Sesuai Kebutuhan)

Direktur Operasional PT Garam Hartono juga mengungkapkan produksi garam nasional bisa memenuhi permintaan industri aneka pangan, kendati masih membutuhkan proses tambahan agar mampu mencapai kualitas yang tepat.

“Salah satunya dengan teknik washing atau pencucian dengan air garam untuk membersihkan kotoran yang bisa menaikan kadar NaCl,” jelas Hartono. Untuk mengejar target kualitas tersebut, pihaknya saat ini tengah dalam proses membangun sistem washing dan olahan di Gresik dan Sampang.

Sementara itu, guna meningkatkan kualitas dan mengurangi kadar air, produsen garam juga perlu membangun pabrik refinery. Melalui pabrik pengolahan tersebut, garam akan melalui proses pencairan untuk kemudian disaring dan dikristalkan kembali. Namun, untuk bisa menjalankan proses tersebut, perusahaan mengaku perlu investasi yang besar.

 
Hartono juga mengungkapkan bahwa PT Garam tengah bekerjasama dengan Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi untuk membangun pabrik refinerey di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Langkah itu dilakukan untuk mencapai target swasembada garam pada 2019.

Pernyataan Asosiasi dan PT Garam  menampik pendapat pelaku usaha makanan. Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gappmi) menilai banyak garam produksi lokal tak sesuai dengan kebutuhan industri makanan dan minuman. Industri makanan dan minuman membutuhkan garam dengan kadar alkali yang cukup tinggi sebesar 2,2 juta ton hingga 2,3 juta ton atau lebih.

Selain itu, garam yang diperlukan industri makanan dan minuman memiliki kadar NaCL sebesar 97% dengan kadar air maksimum 0,5%. Sementara, kebanyakan produksi lokal dipandang belum mampu memenuhi syarat garam industri tersebut.

"Kebanyakan stok yang ada di petani itu (kadar air) 4-5%, itu yang tidak bisa kami pakai. Yang bisa kami pakai itu yang hanya sebagian kecil," kata Ketua Gappmi Adhi Lukman, kemarin.