Aturan Baru Omnibus Law, Syarat Amdal Hanya untuk Usaha "Berbahaya"

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Ilustrasi, Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/12/2019).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
21/2/2020, 20.57 WIB

Pemerintah menilai persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk izin usaha selama ini kaku. Melalui Omnibus Law, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin urusan itu hanya berlaku bagi jenis usaha yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Shanti Purwono mengatakan, perubahan kebijakan terkait persyaratan amdal untuk izin usaha itu tertuang dalam Pasal 23 rancangan Omnibus Law Cipta Kerja. Harapannya, perizinan usaha tidak lagi kaku.

"Untuk industri yang memang berisiko tinggi, korelasi dengan bahan baku yang berbahaya, amdal harus tetap ada,” ujar Dini di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (21/2).

(Baca: Walhi Sebut Korporasi dalam Omnibus Law Punya Keistimewaan Mirip VOC )

Nantinya, usaha yang risiko terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budayanya rendah tak wajib memiliki amdal. Mereka hanya diwajibkan memenuhi standar upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL).

Pemenuhan standar UKL-UPL itu disampaikan dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Hal itu diatur dalam Pasal 34 rancangan Omnibus Law Cipta Kerja. 

"Kalau rendah ya tidak perlu amdal di awal. Dia hanya diberitahu apa yang tidak boleh dilakukan, lalu dimonitor," kata Dini.

Pemerintah mengubah persyaratan amdal karena dinilai menjadi kendala bagi pelaku usaha yang kegiatannya tak berbahaya bagi lingkungan. Mereka pun harus merogoh kocek hingga ratusan juta demi mendapatkan amdal.

(Baca: Jokowi Ubah Aturan Lingkungan dari Izin Hutan hingga Amdal)

Padahal, menurutnya amdal hanya formalitas. "Dari fakta itu lebih penting pengawasan dan evaluasi dari waktu ke waktu," katanya.

Selain amdal, ada beberapa aturan terkait kehutanan dan lingkungan hidup yang diubah lewat draf Omnibus Law tentang Cipta Kerja. Perubahan-perubahan itu utamanya tertuang dalam Bagian Tiga tentang Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha dan Pengadaan Lahan.

Perubahan itu di antaranya menghapus, mengubah, atau menetapkan pengaturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Salah satu yang dicabut yakni Pasal 40 ayat (1) yang menyebutkan, izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan. Jika izin lingkungan dicabut, maka izin usaha dan atau kegiatannya batal.

(Baca: Omnibus Law Panen Kritik, Jokowi: Pemerintah Dengar Masukan Masyarakat)

Selain itu, ada perubahan Pasal 24 ayat 2 mengenai izin amdal yang akan menjadi kewenangan pemerintah pusat.  Selanjutnya, Pasal 63 menyebutkan pemerintah pusat berwenang mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar pernah menyampaikan, standar lingkungan akan diatur pemerintah pusat. Hal ini bertujuan supaya pemerintah mempunyai daya paksa (enforce) untuk mempersoalkan dampak lingkungan yang rusak oleh proyek industri.

Siti mengatakan, proyek industri skala sedang atau menengah akan tetap wajib menggunakan standar yang sedang disusun. Standar itu bakal diatur dalam peraturan pemerintah.

(Baca: Revisi Amdal Blok Cepu Terganjal Persetujuan Pemda)

Reporter: Dimas Jarot Bayu