Beberapa elemen buruh akan menggelar unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (20/1). Unjuk rasa ini digelar untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang dinilai merugikan buruh.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan, unjuk rasa akan diikuti sekitar 30 ribu buruh dari Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Aksi tersebut juga akan dilakukan secara serentak di 20 provinsi.
Jika tak ditanggapi, para buruh telah merencanakan protes lanjutan dengan mogok kerja. "Pemogokan bukan hanya buruh pabrik, tapi juga buruh dari kantor-kantor. Buruh kami di Indosat, Telkomsel, dan lainnya akan keluar," kata Ketua Harian KSPI Muhammad Rusdi di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Minggu (19/1).
Selain itu, mogok kerja juga akan melibatkan pelajar dan mahasiswa. Sebab, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja juga dinilai akan memberatkan masa depan pekerja.
(Baca: Protes Omnibus Law, Buruh Siap Mogok Kerja Nasional)
Dengan regulasi tersebut, ia memperkirakan pekerja tetap bisa digantikan menjadi pekerja kontrak dengan upah yang stagnan. Selain itu, pekerja kontrak tidak akan mendapatkan pesangon bila terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kemudian, Rusdi memperkirakan, akan ada banyak pekerja magang. Mahasiswa yang telah lulus kuliah berpotensi untuk diwajibkan program magang terlebih dahulu selama beberapa tahun. Upah yang diberikan juga tidak sesuai dengan standar upah minimum.
Selanjutnya, RUU Omnibus Law tersebut dinilai akan menghapus ketentuan upah minimum menjadi upah harian. "Upah minimum kabupaten/kota juga akan hilang," ujarnya.
Di sisi lain, pesangon pekerja akan digantikan menjadi Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Namun, dana jaminan tersebut akan menggunakan uang buruh yang telah terkumpul melalui BPJS Ketenagakerjaan, bukan menggunakan dana pengusaha.
(Baca: Jokowi Beri Dua Jempol Jika DPR Rampungkan Omnibus Law dalam 100 Hari)
Rusdi menilai, regulasi tersebut bukan menjadi cara yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebab, sebesar 56,65% pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Oleh karena itu, pemerintah semestinya memperkuat pendapatan masyarakat dan upah buruh Indonesia.
Kemudian, lanjut Rusdi, hambatan investasi tidak bisa dilakukan dengan perubahan aturan upah. "Ini bukan masalah upah, tapi masalah korupsi dalam proses perizinan seperti dalam data World Economic Forum," ujarnya.