Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan proyek infrastruktur perhubungan yang digarap dengan Tiongkok tidak terpengaruh konflik di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Budi mengatakan investasi yang sedang berjalan harus dibedakan dengan hubungan geopolitik Jakarta-Beijing.
Hubungan Indonesia-Tiongkok memanas setelah selusin kapal penangkap ikan Tiongkok yang dikawal oleh kapal penjaga pantai beroperasi di Laut Natuna Utara, bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
“Saya pikir harus dipisahkan antara Natuna dengan investasi,” kata Budi usai bertemu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di Jakarta, Kamis, (8/1).
(Baca: Luhut Sebut Tiongkok di Natuna Tak Langgar Teritori RI)
Salah satu proyek Tiongkok adalah pengembangan kereta cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 kilometer. Porsi pendanaan proyek terdiri dari 75% oleh China Development Bank (CDB) dan 25% perusahaan patungan bernama Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Saham KCIC terdiri dari badan usaha Tiongkok 40% dan empat badan usaha milik negara (BUMN) sebesar 60%. Budi menjelaskan pembebasan lahan proyek tersebut ditargetkan rampung pada bulan ini.
“Lalu ada beberapa pelabuhan yang dibicarakan (dengan Tiongkok),” kata Budi.
Di kesempatan yang sama, Mahfud MD mengatakan sudah ada 470 nelayan yang mendaftar untuk mencari ikan di Natuna, Kepulauan Riau. Dia mengatakan mereka berasal dari Pulau Jawa.
Mahfud mengatakan jumlah tersebut belum terhitung nelayan lain dari Sulawesi dan Maluku yang berminat meramaikan Natuna. “Untuk membuktikan bahwa itu milik kita,” kata Mahfud.
(Baca: Kunjungi Natuna, Jokowi Ingin Tegaskan Hak Berdaulat RI di Laut)
Para nelayan sebelumnya meminta jaminan keamanan hingga harga kepastian harga bahan bakar minyak (BBM). Mahfud menjelaskan rencana tersebut masih dibicarakan di internal pemerintah.
“Yang penting idenya dulu. Biaya dan sebagainya sedang dirapatkan lintas kementerian,” kata dia.