Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Sadli Isra mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) pemohon uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Saldi menilai tim kuasa hukum perlu menjelaskan kerugian yang benar-benar dialami oleh pemohon lantaran adanya revisi UU KPK baru.
"Harus dijelaskan apa saja kerugian konstitusional yang dialami pemohon dan meletakkan ke hak-hak mana yang dirugikan," kata Sadli di MK, Jakarta, Senin (9/12).
Pemohon uji materi UU KPK baru terdiri dari tiga pimpinan KPK, yaitu Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Kemudian, 10 tokoh masyarakat turut menjadi pemohon, yaitu M Jasin, Betti Alisjahbana, Ismid Hadad, Erry Riyana Hardjapamekas, Abdul Fickar Hadjar, Omie Komariah Madjid, Hariadi Kartodihardjo, Mayling Oey, Suahartini Hadad, dan Abdillah Toha.
(Baca: Argumen Tiga Pimpinan KPK Anggap UU KPK Cacat Hukum dalam Sidang di MK)
Hakim Arief Hidayat juga mengatakan hal serupa. Dia menyebut setiap pemohon perlu menjelaskan kedudukan hukumnya. Salah satu pemohon, Omie Madjid, dinilai tidak memiliki legal standing jelas lantaran tidak disertai kerugian yang ia alami. "Omi Madjid dijelaskan sebagai ibu rumah tangga. Ini bagaimana bisa dirugikan kosntitusional?" ujar Arief.
Isra juga menilai, pemohon meminta adanya putusan provisi namun belum disertakan argumen terkait pentingnya provisi. Di sisi lain, pemohon juga tidak memberikan opsi selanjutnya jika uji formal dikabulkan.
Isra mengatakan, biasanya MK tidak akan mengabulkan permohonan bila menyebabkan kekosongan hukum. Oleh karena itu, perlu ada tawaran dari pemohon kepada mahkamah.
Hakim MK juga meminta pemohon menyertakan bukti kuat terkait argumen pemohon. Salah satunya mengenai sidang paripurna dalam pengesahan UU KPK yang tidak memenuhi kuorum. "Perlu ada bukti kebenarannya. Misalnya, ada rekaman tanda tangan yang hadir," kata Isra.
(Baca: Belum akan Terbitkan Perppu, Jokowi: Tunggu UU KPK yang Baru Berlaku)
Kuasa Hukum Pemohon Feri Amsari mengatakan, pihaknya akan memperbaiki masukan dari para hakim. "Ada beberapa yang akan kami tambahkan untuk perkuat legal standing," kata Feri.
Argumen UU KPK dianggap Cacat Hukum
Tim kuasa pemohon uji materi UU KPK memaparkan alasan UU tersebut cacat hukum. Feri mengatakan, pembuatan aturan tersebut tidak sesuai dengan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPR, dan DPRD, serta Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib.
Ia menjelaskan, pengambilan putusan UU KPK saat sidang paripurna di DPR tidak memenuhi kuorum. Setidaknya, ada 180 anggota DPR yang menitipkan presensi atau tidak hadir. "Seolah-olah terpenuhi kuorum 287-289 anggota hadir secara fisik," kata Feri.
Berdasarkan Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib Pasal 150, pengambilan keputusan dapat dilakukan bila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi. Namun, lanjut Feri, para anggota DPR tidak hadir secara fisik dalam sidang paripurna tersebut.
(Baca juga: Proses Kebut UU KPK dalam 13 Hari hingga Ruang Paripurna yang Kosong)
Meski begitu, Feri mengatakan masih ada kendala pada alat bukti yang menunjukkan sidang tersebut tidak memenuhi kuorum. Saat ini, bukti yang digunakan hanya berupa print out dari keterangan pers.
Ia mengatakan, alat bukti seperti daftar hadir dan hasil sidang paripurna tersebut sulit untuk diakses. Pihaknya juga telah mengajukan akses ke Pusat Informasi DPR, namun belum mendapatkan respons hingga saat ini. "Jadi proses pembentukan UU tersebut tidak memenuhi akses keterbukaan dan perluasannya cukup minim ke masyarakat," ujar dia.
Cacat lainnya lantaran pimpinan KPK tidak dilibatkan dalam penyusunan aturan. Padahal, KPK merupakan bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung terhadap UU KPK.
Tidak hanya itu, penyusunan UU KPK tidak melibatkan pihak lain secara partisipatif, seperti pelibaatan publik dan tim ahli. Saat itu, rancangan UU KPK juga tidak bisa diakses publik.
Selain itu, perubahan kedua UU KPK tersebut tidak melalui proses perencanaan dalam legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Pembahasan UU KPK justru dilakukan dalam waktu cepat selama 11 hari. "UU tidak sesuai naskah akademik yang memadai," ujar Feri.
(Baca: UU KPK Direvisi, ICW Ramal Pemberantasan Korupsi di Masa Depan Suram)