Negosiasi Dagang AS - Tiongkok Dorong Harga Minyak Indonesia US$ 63,2

Chevron
Ilustrasi, pengeboran sumur minyak. Harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) naik pada November 2019 karena optimisme kesepakatan dagang Amerika Serikat-Tiongkok.
5/12/2019, 15.54 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat kenaikan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price  (ICP) pada November 2019 sebesar US$ 63,26 per barel atau naik US$ 3,44 dari bulan sebelumnya sebesar US$ 59,82 per barel. Salah satu faktor pendukungnya adalah pembicaraan dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.

ICP SLC juga naik menjadi US$ 63,64 per barel, atau naik sebesar US$ 3,66 per barel dari US$ 59,98 per barel pada Oktober 2019.

Tim Harga Minyak Indonesia menyatakan kenaikan ICP sejalan dengan kenaikan harga rata-rata minyak mentah utama di pasar internasional pada November 2019.  Harga minyak naik seiring berlangsungnya pembicaraan dagang AS-Tiongkok yang berhasil menimbulkan harapan pasar terhadap perbaikan pertumbuhan ekonomi global serta permintaan minyak mentah.

"Selain itu, keputusan Uni Eropa untuk menunda Brexit hingga pemilihan Parlemen Inggris selesai pada awal Januari 2020 mencegah berkembangnya resiko ekonomi yang substansial dalam jangka pendek," papar Tim Harga Minyak Indonesia seperti dilansir dari website resmi Direktorat Jenderal Migas pada Kamis (5/12).

Pemicu lainnya adalah ekspektasi pasar terhadap rencana negara-negara OPEC+ memperpanjang periode pemotongan produksi atau bahkan menambah besaran pemotongan produksi dalam pertemuan 5 Desember 2019.

(Baca: Imbas Perang Dagang, Harga Minyak Indonesia Oktober Turun Jadi US$ 59)

Faktor lainnya, publikasi International Energy Agency (IEA) periode November 2019 melaporkan proyeksi permintaan minyak mentah global di kuartal keempat 2019 naik sebesar 300.000 barel per hari (bph) dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal ini menunjukkan perbaikan pertumbuhan permintaan minyak mentah negara-negara OECD.

"Energy Information Administration (EIA) melaporkan penurunan stok distillate AS pada November 2019 sebesar 3,4 juta barel menjadi sebesar 116,4 juta barel dibandingkan bulan Oktober 2019, yang diakibatkan dari penurunan impor distillate dan operasional kilang AS," tutur Tim Harga.

Selain itu, produksi minyak Iran turun menjadi 2,15 juta bph karena sanksi dari AS. Iran pun mencatatkan produksi minyak terendah sejak 1988. Ada juga faktor resiko geopolitik di Timur Tengah yang memanas setelah beberapa kapal induk AS tiba di Teluk Persia.

Hal tersebut meningkatkan ketegangan antara AS dan Iran. Di sisi lain, Iran disebut-sebut mulai uji coba nuklir di suatu fasilitas bawah tanah. Faktor lainnya yaitu penurunan jumlah rig minyak AS menjadi 668 rig, terendah sejak Maret 2017.

Untuk kawasan Asia Pasifik, kenaikan harga minyak mentah juga dipengaruhi oleh tingkat pengolahan kilang yang terus menguat karena sejumlah kilang pengolahan baru di China mulai beroperasi. Selain itu, periode pemeliharaan kilang petrokimia di Korea Selatan berakhir dan ada peningkatan jumlah pengolahan minyak beberapa kilang di negara Asia lainnya, seperti Taiwan dan Jepang.

"Ditambah pemberian stimulus fiskal berupa penurunan suku bunga dan penurunan pajak, untuk membantu perekonomian di beberapa negara, seperti China, Jepang dan India," tambah Tim Harga.

Selengkapnya perkembangan rata-rata minyak mentah utama di pasar internasional yaitu:
- Dated Brent naik sebesar US$ 3,30 per barel dari US$ 59,72 per barel menjadi US$ 63,02 per barel.
- WTI (Nymex) naik sebesar US$ 3,06 per barel dari US$ 54,01 per barel menjadi US$ 57,07 per barel.
- Basket OPEC naik sebesar US$ 3,02 per barel dari US$ 59,88 per barel menjadi US$ 62,90 per barel.
- Brent (ICE) naik sebesar US$ 3,08 per barel dari US$ 59,63 per barel menjadi US$ 62,71 per barel.

(Baca: Harga Minyak Indonesia Sentuh US$ 60,84 per Barel pada September 2019)