Instiitute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkritik lemahnya perekonomian Indonesia di era Jokowi-JK. Para ekonom memberi catatan hal yang paring krusial yang harus diselesaikan adalah daya saing yang lemah, kemampuan ekspor yang tertinggal serta defisit neraca berjalan terus berlangsung.
"Kami berharap Bapak Presiden jangan hanya jago blusukan ke rakyat, kami memberikan rekomendasi untuk blusukan ke industri-industri karena di sana titik lemah ekonomi Indonesia. Jika itu bisa selesai, maka pertumbuhan ekonomi bisa lebih baik," ujar Indef dalam keterangannya, Jumat (18/10).
(Baca: Ada Target yang Tak Tercapai dalam 5 tahun, Jokowi: Kami Perlu Koreksi)
Indef menyoroti pengelolaan APBN yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, dalam mengelola APBN pemerintah cenderung menggunakan pendekatan-pendekatan yang tidak merakyat ketika penerimaan APBN menurun, seperti menaikkan harga BBM.
Pengeluaran APBN era Jokowi-JK dinilai sangat boros. Kebijakan ekonominya hanya membagi-bagi kartu dan menyebar uang, tanpa melihat sisi produktivitasnya. Anggaran untuk daerah yang mencapai Rp 700 triliun sebanyak 90% hanya untuk membayar gaji pegawai dan biaya operasional.
Indef juga mengkritik pemerintah di bidang hukum dan politik. Pelemahan KPK secara sistematis melalui revisi undang-undang KPK membuat pengelolaan APBN semakin rentan untuk disalahgunakan. "Perubahan UU KPK dengan cara gerilya dan tertutup menimbulkan masalah baru, tidak hanya di bidang ekonomi tapi juga dalam bidang politik terutama ketegangan antara masyarakat, mahasiswa dan media massa yang menentang revisi UU KPK dengan pemerintah dan DPR," tulisnya.
(Baca: Korupsi Hambat Ekonomi, 85 Ekonom Desak Jokowi Terbitkan Perppu KPK)
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menanggapi hal itu pada pidato akhir masa jabatannya dengan menyatakan kondisi perekonomian Indonesia harus dilihat secara keseluruhan. Dampak pelemahan ekonmi tidak hanya disebabkan oleh kondisi dalam negeri, melainkan juga kondisi perekonomian global dan adanya revolusi industri 4.0.
"Kalau kita berbicara tentang ekonomi Indonesia tentu tidak lengkap kalau kita tidak berbicara ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Kita juga harus melihat apa korelasi sistem ekonomi di dunia kepada Indonesia," kata JK.
(Baca: Infografik: Perekonomian Global Melambat, Kepercayaan Investor Menurun)
Ia menambahkan, tren perekonomian dunia mengalami perubahan besar. Perusahaan raksasa dunia tak lagi berkecimpung pada sektor energi atau keuangan seperti Saudi Aramco, Exxon dan Citibank. Saat ini sektor ekonoomi dikuasi oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang teknologi digital seperti Facebook, Apple, Microsoft dan Amazon.
Konflik yang terjadi di antara negara-negara besar juga berpengaruh terhadap perekonomian nasional, seperti Brexit, perang dagang AS-Tiongkok, atau konflik Jepang dan Korea. JK menilai selama Amerika masih dipimpin oleh Donal Trump kondisi ekonomi Indonesia masih akan sulit untuk tumbuh.
Di sisi lain, JK mengeluhkan sulitnya proses perijinan di Indonesia sehingga mengurangi minat investor untuk menanamkan modalnya. Kehadiran Online System Submission (OSS) sejak enam bulan yang lalu sudah berdampak pada kemudahan perijinan. Untuk memperbaiki keadaan ekonomi, maka pemerintah harus memprioritaskan produktivitas, pengembangan teknologi dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
(Baca: Jokowi Bakal Kembali Bentuk KEIN pada Periode Kedua Pemerintahannya)
"Banyak tantangan yang harus kita atasi seperti penurunan ekspor, juga bagaimana kita meningkatkan investasi dan sebagainya. Tingkatkan kemampuan generasi muda di bidang teknologi dan lain-lain, agar terjadi daya saing kuat," kata dia.