Ketua Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi menilai berbagai isu yang dibawa terkait rencana amendemen terbatas Undang-undang Dasar (UUD) 1945 problematik dan tak akan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
"Beberapa isu amendemen itu seperti menggaruk bagian yang tak gatal. Yang sakit apa, obatnya yang lain," kata Veri di Jakarta, Selasa (8/10).
Salah satu isu amendemen UUD 1945 yang dipersoalkan Veri adalah dihidupkannya kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Melalui amandemen tersebut, MPR juga memiliki wewenang untuk menentukan GBHN yang harus dijalankan Kepala Negara.
Dengan demikian, MPR bakal menjadi lembaga negara tertinggi di Indonesia. Sementara Kepala Negara hanya akan menjadi mandataris MPR.
Menurut Veri, isu amendemen akan memunculkan masalah baru karena MPR tak mungkin memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan presiden. Sebab, presiden saat ini dipilih secara langsung oleh rakyat, sementara MPR tidak demikian.
"Secara ketatanegaraan enggak mungkin itu dilakukan," kata Veri. (Baca: Golkar dan PDIP Silang Pendapat Soal Perlunya GBHN)
Very pun menilai wacana menghidupkan GBHN sudah tak relevan saat ini. Pasalnya, Indonesia telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Justru, wacana menghidupkan GBHN dapat mengacaukan sistem yang sudah berjalan sekarang. "Kita sudah memiliki GBHN dengan nama dan format yang baru, yang berbeda dengan sistem yang lama," ucap Veri.
Isu lain dalam amendemen UUD 1945 yang dipersoalkan Very adalah perihal presiden yang bisa menjabat lebih dari satu kali dengan syarat tidak boleh berturut-turut. Usulan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Ketua Fraksi Partai Nasdem di MPR Johny G Plate.
Jika amendemen terlaksana, maka Joko Widodo (Jokowi) bisa menjabat Presiden lebih dari dua kali selama diberi jeda memimpin. Veri menganggap isu dalam amendemen itu menafikkan berbagai persoalan yang muncul ketika Orde Baru.
(Baca: Panasnya Wacana Amendemen UUD 1945 dan Kembalinya GBHN)
Saat itu, Soeharto dapat menjabat sebagai Presiden tanpa batas waktu yang jelas. Hal tersebut lantas membuat pemerintah bertindak otoriter kepada rakyatnya.
Kondisi itu lantas memantik adanya gerakan reformasi pada 1998 dengan melengserkan Soeharto dan mengamendemen UUD 1945. "Kita seperti kacang lupa kulitnya. Kenapa kita harus kembali ke situ?" kata Veri.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah menambahkan, isu lain yang menjadi masalah dalam rencana amendemen UUD 1945 adalah pemilihan Presiden dilakukan oleh MPR. Menurut Maryati, isu tersebut dapat membawa Indonesia mundur dari semangat reformasi.
Maryati menilai amendemen UUD 1945 seharusnya dilakukan terhadap hal-hal yang lebih substansial. Salah satunya dengan memperkuat fungsi dan kewenangan DPD.
"Kalau amendemen agar Presiden dipilih oleh MPR, maka reformasi dikorupsi. kita akan set-back dari reformasi Indonesia," kata Maryati.