Rancangan KUHP yang Akan Disahkan DPR Bertabur Pasal Kontroversial

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Sejumlah demonstran melakukan aksi demo di depan gedung DPR MPR RI, Jakarta Pusat (16/9). Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah keukeuh memasukkan pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Penulis: Safrezi Fitra
20/9/2019, 06.00 WIB

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai pasal hukuman mati harus dihapuskan karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Bahkan, dua pertiga negara di dunia juga telah menghapuskan hukuman mati.

(Baca: Rentan Jadi Alat Kriminalisasi, RUU KUHP Disebut Libatkan Masyarakat)

Penistaan Agama

Penodaan agama diatur dalam pasal 313. Setiap orang yang menyiarkan, menunjukkan, menempelkan tulisan, gambar, atau rekaman, serta menyebarluaskannya melalui kanal elektronik dapat dipidana penjara lima tahun.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak pasal ini, karena tidak ada kejelasan penilaian apakah suatu perbuatan bersifat permusuhan atau penodaan agama. Mereka tak ingin ada warga negara yang dipidana hanya karena tafsir subjektif yang dipaksakan segelintir orang atau oleh mayoritas terhadap minoritas.

Larangan Aborsi atau Menggugurkan Kandungan

Larangan aborsi diatur dalam Pasal 251, 470, 471, dan 472 RKUHP. Pemberi atau peminta obat penggugur kandungan, orang yang menunjukkan alat menggugurkan kandungan, orang yang mengugurkan kandungan dan orang membantunya dapat dijerat pidana dengan pasal ini.

ICJR menilai aturan ini bisa menimbulkan kriminalisasi terhadap korban perkosaan. Dalam pasal tersebut, dokter yang menggugurkan kandungan korban perkosaan tidak dipidana, melainkan  korban perkosaan itu sendiri yang bisa dijerat.

(Baca: Jokowi Digugat ke Pengadilan soal Terjemahan KUHP)

Hubungan Seks di Luar Nikah

Laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau melakukan hubungan seks di luar nikah (zina) dijerat dengan pasal 417 dan 419. Orang yang berzina bukan dengan pasangan sah menikah dipidana penjara satu tahun. Bagi pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau kohabitasi dipidana enam bulan.

Kelompok masyarakat sipil menilai aturan ini tidak perlu, karena sudah masuk ke ruang privasi.

Hukuman Denda Bagi Gelandangan

RKUHP melarang keberadaan gelandangan, perempuan yang bekerja dan pulang malam, pengamen, tukang parkir, orang dengan disabilitas psikososial yang ditelantarkan keluarga, serta anak jalanan. Mereka dianggap mengganggu ketertiban umum. Pasal 432 mengancamnya dengan denda Rp1 juta. Dalam KUHP yang sekarang, kaum gelandangan dipidana kurungan tiga bulan.

(Baca: Ratusan Mahasiswa Berbagai PT Demonstrasi di DPR, Tolak UU KPK & RKUHP)

Halaman: