Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pemborosan senilai Rp 274,19 miliar pada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di tahun 2018. Pemborosan tersebut di antaranya karena penggunaan bahan bakar high speed diesel (HSD) pada Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTG), dari seharusnya gas. PLN pun menjelaskan alasan dari keputusan tersebut.

Direktur Pengadaan Strategis II PLN Djoko Abumanan mengatakan, pihaknya menggunakan HSD untuk PLTG yang terletak di wilayah tertinggal lantaran sulit mengirimkan gas ke wilayah yang dimaksud. Pasokan gas sendiri sebetulnya tersedia dari BP Tangguh dan Kilang Bontang.

"Masalahnya itu gas-nya ada tapi yang bawa ke sana enggak ada, akhirnya PLN (pakai HSD)," ujar dia di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (19/9).

(Baca: BPK Temukan Pemborosan pada PLN Rp 274,19 Miliar)

Adapun temuan pemborosan tersebut terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2019 yang baru saja dirilis BPK. Pemborosan antara lain terjadi akibat spesific fuel consumption (SFC) PLTG Mobile Power Plant (MPP) Batam yang dioperasikan dengan bahan bakar HSD lebih tinggi dibandingkan batas SFC Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang berbahan bakar minyak. Ini mengakibatkan pemborosan Rp 198,69 miliar.

Kemudian, ada juga temuan pemborosan lantaran anak perusahaan PLN, Indonesia Power, menanggung dampak skema take or pay (ToP) sebesar Rp36,97 miliar atas jasa sewa compressed natural gas (CNG) pada Pembangkit Listrik Tambak Lorok.

(Baca: PLN Telah Bayarkan Kompensasi Akibat Pemadaman Listrik Rp 839 Miliar)

BPK menyatakan pembayaran skema ToP yang menggunakan proyeksi faktor kesediaan dan penggunaan dolar AS pada jual beli Iistrik dengan Independent Power Producer (IPP) menghilangkan kesempatan PLN untuk menghemat sebesar Rp 676,98 miliar. Sedangkan penggunaan skema yang sama pada pembangkit sewa menghilangkan kesempatan PLN menghemat Rp 431,27 miliar sepanjang tahun lalu.

BPK memproyeksikan, pada periode yang akan datang, PLN berpotensi kehilangan kesempatan menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) atas tidak terserapnya batas minimum energi Iistrik pada IPP dan sewa. Untuk itu, BPK merekomendasikan kepada direksi PLN agar melakukan kajian strategis terkait reserve margin dan ToP atas Kwh yang tak terserap.