PT Adaro Energy Tbk (ADRO) menyatakan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) mengganggu operasional perusahaan tambang batu bara tersebut, terutama di Kalimantan. Pekatnya asap dari kebakaran tersebut bisa membuat perusahaan menghentikan operasional 4 sampai 5 jam per hari.
"Beberapa kali, operasi kami terhenti karena asap yang sudah sampai pekat menjadi kabut. Hal yang seperti itu, membuat jarak pandang terbatas, maka operasi harus kami setop," kata QHSE Division Head Adaro Energy Rusdi Husin di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Kamis (19/9).
Ia menjelaskan, berhentinya operasional menyebabkan kerugian materil bagi perusahaan. Jumlah kerugian diperkirakan cukup besar jika melihat penghentian operasi yang selama 4 sampai lima jam per hari. "Saya belum bisa menyebutkan angka. Tapi, tentunya ada loss yang cukup besar di situ," ujarnya.
(Baca: Wiranto Klaim Asap Tidak Parah, Aktivis Tuding Kondisinya Sudah Diatur)
Adapun wilayah kerja Adaro Energy yang terdampak kabut asap mayoritas berada di Kalimantan. Meskipun, wilayah kerja Adaro tersebut tidak berdekatan dengan lokasi kebakaran hutan. Wilayah kerja yang terdampak paling parah yaitu di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Di Kalteng, Adaro Energy melalui Adaro MetCoal Companies mengelola tambang cekungan batu bara Maruwai. Tambang tersebut mengandung deposit batu bara metalurgi terbesar di dunia, yang relatif belum dikembangkan.
Saat ini, beberapa wilayah di dalam negeri memang tengah dilanda karhutla yang berdampak pada menyebarnya kabut asap kebakaran hingga ke negara tetangga. Selain mengganggu aktivitas sehari-hari, kabut asap juga memiliki berbagai dampak negatif terhadap kesehatan.
(Baca: Upaya Memadamkan Kebakaran Hutan, Racun Api hingga Hujan Buatan)
Kabut asap bisa mengandung partikel-partikel berbahaya, misalnya gas karbondioksida (CO2), karbon monoksida (CO), sulfur oksida (SO2), dan nitrogen oksida (NO2). Selain itu, ada partikel lainnya, seperti abu hasil kebakaran hutan yang terbawa angin.