Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango setuju dengan poin keberadaan Surat Perintah Pemberhentian Perkara (SP3) yang terdapat dalam draf revisi Undang Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu ia sampaikan saat sesi tanya jawab dalam agenda tes kelaikan dan kepatutan Capim KPK di ruang rapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebelumnya, Anggota Komisi III dari Fraksi Golkar Syaiful Bahri menanyakan pandangan Nawawi perihal polemik RUU KPK yang terjadi belakangan ini.
"Yang saya setuju itu misalnya soal SP3," kata Nawawi di ruang rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu, (11/9).
(Baca: Jokowi Minta Tak Ada Pembatasan yang Ganggu Independensi KPK)
Nawawi setuju dengan SP3 karena selama ini tidak ada keputusan yang jelas tentang kepastian hukum seseorang. Dia memberikan satu contoh kasus yang pernah ia tangani pada saat menjabat sebagai hakim ketika menangani kasus seorang pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Dalam kasus tersebut, terdapat seorang saksi yang status hukumnya sudah naik sebagai tersangka. Namun berselang tiga tahun, proses hukum belum dilanjutkan dan yang bersangkutan belum menemui kejelasan.
"Tiga tahun seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Punya keluarga, terus terombang-ambing dalam status yang tidak jelas," kata dia.
Nawawi menjelaskan proses bisa dilanjutkan bila terdapat temuan bukti-bukti baru dalam kasus yang tengah ditangani. Dengan adanya bukti anyar, status tersangka bisa dikenakan kembali. "Tapi jangan gantung orang sampai mati jadi tersangka,” kata Nawawi.
Ia juga menilai KPK tidak memiliki filosofi yang jelas dalam meniadakan SP3 tersebut. Ia juga berpendapat, pertimbangan KPK hanya ingin jadi pembeda dengan institusi penegak hukum lainnya. “Filosofinya itu harus ada," ucapnya.
(Baca: Nawawi Pamolango, Capim KPK yang Pernah Adili Patrialis Akbar)
Nawawi menjadi satu-satunya hakim yang lolos dalam tes wawancara dan uji publik yang dilakukan Panitia Seleksi Capim KPK beberapa waktu lalu. Hakim Utama Muda di Pengadilan Tinggi Denpasar ini cukup akrab dengan perkara korupsi.
Selama menjalankan tugasnya, ia beberapa kali menjatuhkan hukuman bagi koruptor di Indonesia. Beberapa di antaranya Ahmad Fathanah dan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.