Proses Seleksi Pimpinan KPK Mengandung Enam Masalah

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih (tengah) memberikan keterangan terkait hasil profile assessment calon pimpinan KPK periode 2019-2023 dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/8/2019). Koalisi Kawal Calon Pimpinan KPK menyampaikan enam kritik terkait proses seleksi ini.
25/8/2019, 17.01 WIB

Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi mengkritik proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka membentuk Koalisi Kawal Calon Pimpinan KPK untuk menyampaikan penilaian ini.

Setidaknya, mereka menyampaikan enam hal. Pertama, pernyataan pansel terkait isu radikalisme dinilai tidak relevan. “Seharusnya isu yang dilontarkan yaitu mengenai integritas. Ini memperlihatkan keterbatasan pemahaman pansel," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan di Jakarta, Minggu (25/8).

Kedua, pansel mengatakan bahwa pimpinan KPK lebih baik berasal dari unsur penegak hukum pada 26 Juli lalu. Alasannya, karena calon dianggap lebih berpengalaman dalam memberantas korupsi. Koalisi menilai, logika ini keliru.

Sebab, berdasarkan sejarah, KPK dibentuk karena penegak hukum konvensional tidak maksimal dalam menangani kasus pemberantasan korupsi. Sepengetahuannya, berbagai penelitian dan survei menunjukkan bahwa kinerja penegak hukum dalam menangani kasus korupsi ada di peringkat bawah.

(Baca: Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief Tersisih dari Seleksi Calon Pimpinan)

Ketiga, pansel kerap menyebutkan bahwa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tidak dijadikan faktor penentu calon pimpinan KPK. Kurnia menilai, pansel tidak paham bahwa LHKPN dapat menjadi alat ukur integritas penyelenggara negara atau penegak hukum.

Selain itu, LHKPN merupakan perintah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016. "Penyelenggara negara atau penegak hukum mayoritas tidak patuh melaporkan LHKPN. Padahal LHKPN sesuatu yang penting," kata Kurnia.

Keempat, Keputusan Presiden (Keppres) terkait pembentukan pansel tidak dapat diakses publik. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengirimkan surat permintaan salinan Keppres Nomor 54/P Tahun 2019 pada 10 Juli lalu. Namun, Sekretariat Negara menyebutkan bahwa salinan itu hanya tersedia untuk masing-masing anggota pansel.

Halaman:
Reporter: Fariha Sulmaihati