Rencana mengubah konstitusi atau amendemen Undang-Undang Dasar 1945 muncul ke publik. Partai politik terbelah. Ada yang mendukung dan ada yang tidak setuju.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo meminta agar usulan itu tidak terburu-buru. Apalagi, ujung dari amendemen itu adalah mengembalikan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
“Dinamika politik global sekarang sangat luar biasa. Berbeda dengan 50 tahun lalu,” kata politikus Partai Golkar itu di Jakarta, Selasa (13/8), seperti dikutip dari Antara. Karena itu, perlu kajian lebih dalam apakah GBHN perlu atau tidak.
Kongres PDIP V di Bali beberapa waktu lalu merekomendasikan agar MPR melanjutkan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan GBHN. Namun, Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah membantah usulan amandemen kelima UUD 1945 berasal dari partainya. “Sejak 2010 usulan tersebut sudah ada,” katanya.
Alasan mengembalikan GBHN untuk menciptakan dasar pembangunan, menurut ahli hukum tata negara Bivitri Susanti, tidak tepat. Saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dalam undang-undang itu sudah ada rencana pembangunan jangka panjang, bukan hanya menengah. “Bentuknya undang-undang, artinya itu dibahas juga oleh DPR, partai-partai politik juga. Jadi tidak akurat kalau misalnya dikatakan kita tidak punya haluan negara," kata Bivitri.
(Baca: Sinyal Amendemen UUD 1945, PAN Siap Gabung PDIP Bentuk Pimpinan MPR)
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengingatkan agar wacana untuk menghidupkan kembali GBHN melalui amendemen UUD 1945 tidak dijadikan sebagai komoditas politik. Apalagi saat ini Indonesia sudah punya sistem perencanaan pembangunan nasional melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Sistem itu adalah pengganti GBHN dan sudah berlaku sejak 2005. "Kita bertanya, sebetulnya untuk apa sih GBHN? Tujuannya apa? Apakah dengan tidak adanya GBHN sekarang tidak tercapai? Kalau tidak tercapai masalahnya di mana?" kata Letjen TNI Purn Agus Widjojo.
Menurut dia, persoalannya bukan semata-mata kembali ke cara lama. Yang perlu dicermati justru bagaimana antar presiden terpilih nantinya dapat memberikan kesinambungan program pembangunan jangka panjang.
Empat Kali Amendemen UUD 1945
Bagi milenials alias anak muda zaman sekarang, akronim itu mungkin terasa asing. Istilah GBHN awalnya muncul pada saat Presiden RI yang pertama Soekarno menyampaikan pidato politik jelang kejatuhan pemerintahannya.
Pidato itu disebut Manipol/USDEK atau manifesto politik/UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia.
Semua hal tersebut oleh Soekarno dijadikan sebagai haluan negara ini yang harus dijunjung tinggi, dipupuk, dan dijalankan semua masyarakat. Ia bahkan mengibaratkan Pancasila dan Manipol/USDEK bagaikan Quran dan hadis sahih.
Setelah Soekarno jatuh, Presiden Soeharto melanjutkan GBHN menjadi konsesi ketatanegaraan. MPR memberikan mandat yang harus dilakukan oleh presiden. Namun, pada praktiknya, mandat yang berupa GBHN itu dibuat oleh tim presiden. Isinya pun tidak ada ukuran dan targetnya.
Nah, amendemen UUD 1945 terjadi pertama kali saat era reformasi. Perubahan konstitusi dilakukan agar tak ada lagi yang mempertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun seperti Soeharto.
(Baca: Adu Kuat Partai Koalisi Jokowi Berebut Kursi Ketua MPR)
Amendemen yang pertama terjadi tak lama setelah Orde Baru tumbang, tepatnya Oktober 1999. Dalam perubahan tersebut kekuasaan presiden dan wakil presiden dibatasi. Jabatannya hanya lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Lalu, amendemen kedua pada Agustus 2000. Perubahannya merinci wewenang dan posisi pemerintah daerah dan DPR serta penambahan mengenai hak asasi manusia.
Amendemen ketiga pada November 2001 terjadi perubahan besar. Termasuk di dalamnya tentang bentuk dan kedaulatan negara, aturan pemakzulan, hingga pembentukan lembaga, seperti DPD, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi. Perubahan penting lainnya, soal presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.
Terakhir, amendemen UUD 1945 terjadi pada Agustus 2002. Perubahan yang dilakukan di dalamnya terkait keuangan, kehakiman, pendidikan, dan perekonomian.
(Baca: Tudingan Kecurangan dari Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019)
Sejarah Pemilihan Presiden RI
Wacana amendemen UUD 1945 juga berencana mengembalikan kembali fungsi MPR. Ini berarti ada potensi presiden tak lagi dipilih langsung oleh rakyat.
Kalau merujuk pada sejarahnya, sejak 1955 negara ini telah 12 kali melakukan pemilihan umum (pemilu). Asas Luber alias langsung, umum, bebas, dan rahasia sudah ada dari awal.
Dari sejarah panjang pesta demokrasi itu, baru dua presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyatnya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden RI ke-6) dan Joko Widodo (Presiden RI ke-7).
Nah, lima presiden sebelumnya dipilih melalui MPR. Ketika UUD 1945 belum mengalami amendemen, kekuasaan MPR memang sangat kuat. Pemilu sebelum 2004 hanya memilih wakil rakyat.
Pada 1955 atau pemilu yang pertama, negara ini memilih anggota DPR dan Konsituante. Lembaga negara yang terakhir ini tugasnya membentuk UUD atau konstitusi baru untuk mengganti UUD Sementara 1950.
Banyak yang menyebut Pemilu 1955 adalah yang paling demokratis. Ada 29 partai yang mengikuti pemilu itu. Lima partai yang mendapat suara terbanyak adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Sayangnya, pemilu ini tidak dilanjutkan di lima tahun berikutnya. Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Ia lalu membentuk DPR-Gotong Royong dan MPR Sementara yang anggotanya diangkat presiden.
(Baca: Prabowo Putuskan Koalisi Setelah Dapat Aspirasi Kader Daerah)
Pada 4 Juni 1960, Soekarno juga membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah dewan legislatif sepakat menolak RAPBN yang diajukan pemerintah.
Pemilu berikutnya terjadi pada era Orde Baru, yaitu 1971. Pesertanya ada sembilan partai politik dan satu organisasi masyarakat. Lalu, Pemilu berikutnya hingga 1997 hanya ada tiga partai yang mengikuti, yaitu Golkar, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Dengan berbagai cara, rezim Orde Baru, selalu berhasil memenangkan Golkar. Tentu tujuannya agar Soeharto tetap berkuasa.
Era reformasi mengubah hal tersebut. Tak ada lagi presiden bisa berkuasa sampai 32 tahun. Walaupun Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sempat dipilih melalui MPR, setelah itu rakyat akhirnya bisa memilih presiden secara langsung.