Alasan Pidato Jokowi Tak Singgung Isu Penegakan Hukum dan HAM

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo (kanan) dan KH Ma\'ruf Amin (kedua kanan) bersama Ibu Irianan Joko Widodo (kiri) dan Ibu Wury Estu Handayani (kedua kiri) menyapa pendukung sebelum memberikan pidato pada Visi Indonesia di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat Minggu (14/7/2019).
Penulis: Yuliawati
15/7/2019, 14.48 WIB

Pidato presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dengan judul Visi Indonesia menuai kritik para pegiat hukum dan Hak Asasi Manusia. Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Arsul Sani, menjelaskan alasan mengapa Jokowi tak menyampaikan soal  hukum dan HAM.

Arsul mengatakan pidato politik yang disampaikan Jokowi dijadwalkan untuk waktu yang terbatas, sehingga Presiden tak dapat menyampaikan semua isu.

“Dalam rundown yang disusun Pak Jokowi mendapatkan waktu kisaran 30-40 menit.  Tentu tidak mungkin semua hal disampaikan. Beliau tentu memilih hal-hal yang menarik untuk masyarakat,” kata Arsul kepada wartawan di kompleks parlemen, Jakarta (15/7).

(Baca: Pidato Lengkap Lima Visi Presiden Terpilih 2019-2024 Jokowi)

Hal yang menarik, kata Arsul, di antaranya soal visi pembangunan SDM dan infrastruktur. “Menarik dalam artian soal pembangunan sumber daya manusia itu adalah shifting yang paling besar yang beliau ingin sampaikan, dari sebelumnya pemerintahan fokus pada pembangunan infrastruktur,” kata Jokowi.

Arsul menyatakan, meski tak menyebutkan isu tersebut, bukan berarti pemerintah mengabaikan isu hukum dan HAM. “Dalam pemerintahannya hal-hal yang masih merupakan PR dalam penegakan hukum, penyelesaian kasus HAM berat, saya kira tak akan terabaikan,” kata Arsul.

Dia mengatakan, pejabat yang terkait yang akan bertugas dalam menangani isu-isu hukum dan HAM tersebut.

Salah satu kritik datang dari Institute Criminal of Justice Reform (ICJR) yang menyesalkan Jokowi tak menyinggung sama sekali mengenai pentingnya membangun negara berdasarkan hukum (rule of law) dan memperkuat jaminan hak asasi manusia.

(Baca: Jokowi Sampaikan Lima Visi untuk Indonesia Lima Tahun ke Depan)

“Dalam mendorong pembangunan ekonomi, pembangunan Negara hukum adalah suatu condition sine qua non bagi terwujudnya kepastian berusaha di Indonesia,” kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam keterangan tertulis, hari ini.

ICJR mengingatkan bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia telah menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum” dan aspek terpenting dari negara hukum adalah jaminan hak asasi manusia. “Karena itu, semestinya Presiden meletakkan pembangunan negara berdasar hukum (rule of law) sebagai prioritas pertama pemerintahannya,” kata Anggara.

ICJR mengingatkan bahwa pembangunan negara hukum harus menjadi agenda prioritas bagi pemerintahan Jokowi– Maaruf Amin pada periode 2019 – 2024. “Pembangunan negara hukum bukan hanya bagian dari agenda kerja pemerintahan namun juga merupakan kewajiban konstitusional bagi setiap Presiden Republik Indonesia,” kata Anggara.

Rule of Law Index yang dikeluarkan oleh World Justice Project telah mencatat bahwa sepanjang empat tahun terakhir, skor Indonesia cenderung stagnan kalau tidak ingin dikatakan cenderung menurun. Pada 2019, skor Indonesia adalah 0.52. Perolehan nilai 0,52 dari skala 0 – 1 menandakan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah ke depan.

(Baca: Pidato Sebagai Presiden Terpilih, Jokowi Serukan Persatuan )

Pada 2018, ICJR juga mengeluarkan Laporan Penilaian Penerapan Fair Trial. Dalam laporan tersebut, ICJR melihat kepada empat indicator utama yaitu (i) Pemenuhan Hak Tersangka Selama Proses Peradilan; (ii) Pemenuhan Prinsip Persamaan di Muka Hukum; (iii) Pemenuhan Prinsip Peradilan yang Kompeten, Independen, dan Imparsial; dan (iv) Pemenuhan Prinsip Pendampingan oleh Penasihat Hukum. Dalam Laporan tersebut, mengindikasikan masih banyak tantangan untuk memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia.