Ajukan 7 Tuntutan ke MK, Prabowo-Sandi Minta Jokowi Didiskualifikasi

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ketua tim hukum BPN Bambang Widjojanto mendaftarkan gugatan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi. Jakarta, Jumat, 24 Mei 2019.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
26/5/2019, 19.30 WIB

Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyerahkan 51 bukti gugatan sengketa Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (24/5) lalu. Bersamaan dengan itu, Prabowo-Sandi juga mengajukan tujuh tuntutan  terkait sengketa Pilpres 2019.

Pertama, mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya. Kedua, Prabowo-Sandiaga meminta MK menyatakan batal dan tidak sah Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang penetapan hasil pemilu presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional.

Pasangan calon nomor urut 02 ini juga meminta MK untuk membatalkan Keputusan KPU tentang rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di tingkat nasional dan penetapan hasil pemilu 2019.  (Baca: Prabowo Jadikan Tautan Berita Sebagai Bukti Gugatan Hasil Pilpres)

Ketiga, menyatakan pasangan calon nomor urut 01 terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis dan masif. Keempat, membatalkan atau mendiskualifikasi Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai peserta Pilpres 2019.

Kelima, menetapkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga dan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode  2019-2024. Keenam, memerintahkan kepada Termohon, yakni KPU untuk seketika untuk mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024.

(Baca: MK Siap Proses Gugatan Pilpres yang Diajukan Prabowo)

Prabowo-Sandiaga juga mengajukan pilihan lain dalam poin ketujuh, yakni memerintahkan KPU untuk melaksanakan pemungutan suara ulang secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22e ayat 1 UUD 1945.

"Apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," demikian kata Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga dalam berkas permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diserahkan pada Jumat (24/5) lalu.

Munculnya Istilah Mahkamah Kalkulator

Berdasarkan berkas permohonan PHPU yang diperoleh Katadata, dalam Bab Pokok Permohonan, Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga menyampaikan bahwa MK berfungsi mengawal kedaulatan rakyat dan tegaknya demokrasi. Karena itu, mereka berharap MK dapat menilai kecurangan dalam pemilu dengan adil.

Menurut Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga, MK tidak boleh dikerangkeng untuk memeriksa hasil suara saja. MK harus menilai keseluruhan proses agar sesuai rambu-rambu pemilu yang tidak curang. “Hal demikian disebabkan karena MK bukanlah ‘Mahkamah Kalkulator’ yang hanya bertugas menentukan pemenang pilpres berdasarkan benar atau salahnya rekapitulasi suara,” demikian dikutip.

(Baca: Prabowo-Sandi Serahkan 51 Bukti Gugatan Sengketa Pilpres ke MK)

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi tak sepakat dengan istilah 'Mahkamah Kalkulator' yang disematkan Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kepada MK. Sebab, menurutnya MK selama ini tak hanya bekerja untuk memperbaiki hasil penghitungan suara dalam Pemilu.

MK pun sempat memutus persoalan pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). "Dari kajian kami, MK bukan 'Mahkamah Kalkulator," kata Veri di kantornya, Jakarta, Minggu (26/5).

Veri mengatakan, putusan MK terkait pelanggaran TSM dapat dilihat dalam sengketa Pilkada Jawa Timur 2008 dan Pilkada Kotawaringin Timur 2010. Pada sengketa Pilkada Jawa Timur 2008, MK mengabulkan sebagian permohonan pasangan calon Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono.

(Baca: Jumlah Gugatan Sengketa Pemilu 2019 Menurun Dibanding 2014)

MK menilai terjadi pelanggaran secara TSM di Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan. Ini lantaran adanya kerja sama antara pengurus desa di tiga kabupaten tersebut dengan pesaing Khofifah-Mudjiono, yakni Soekarwo-Saifullah Yusuf. Alhasil, MK membatalkan hasil Pilkada Jawa Timur 2008. Selain itu, MK meminta adanya pemungutan suara ulang di Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan.

Di Pilkada Kotawaringin Timur 2010, MK bahkan mendiskualifikasi pasangan calon Sugianto-Eko Soemarno. Dalam pertimbangannya, MK menilai Sugianto-Eko telah melakukan pelanggaran TSM karena merekrut 78.238 orang atau 62,09% pemilih sebagai relawan. Para pemilih tersebut digaji serta diberikan tanda pengenal.

MK juga memerintahkan pemungutan suara ulang ada putusan empat kasus Pilkada 2017. "Jadi sejarahnya, MK cukup progresif dalam menyidangkan, memutus permohonan hasil Pilkada," kata Veri.

(Baca: Sandiaga Ajukan Gugatan ke MK karena Kecewa Proses Pemilu 2019)

Veri lantas meminta Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga membuktikan letak pelanggaran TSM jika gugatannya mau dikabulkan MK. Setelah membaca berkas permohonan, Veri menilai argumentasi yang disampaikan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga tidak saling berkaitan.

Dia pun menilai berkas permohonan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga sebagian besar hanya berisikan teori hukum. Sisanya, hanya berisikan bukti yang berasal dari tautan berita media massa daring."Tantangan pertama para pemohon harus kaitkan betul antar-pelanggaran TSM dan dibuktikan cara kerjanya, sehingga berdampak pada hasil Pemilu saat di MK," kata Veri.

(Baca: BPN Akan Ajukan Gugatan Hasil Pilpres 2019 ke MK Pukul 14.00)

Reporter: Dimas Jarot Bayu