Vonis Hakim dalam Kasus Korupsi Dinilai Tak Konsisten

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
Sidang kasus pidana korupsi
Penulis: Rizky Alika
29/4/2019, 02.00 WIB

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan vonis hakim dalam tindak pidana korupsi yang tidak konsisten. Sebab, Sejumlah kasus korupsi yang jumlah kerugian negaranya hampir setara, tapi lama vonis yang diberikan memiliki perbedaan yang jauh.

“Apa yang menjadi dasar hakim dalam memutus perkara itu tidak konsisten,” kata Peneliti ICW Lalola Easter di kantornya, Jakarta, Minggu (28/4).

Sebenarnya, perbedaan dalam penjatuhan pidana atau disparitas pemidanaan merupakan hal yang lumrah. Sebab, setiap perkara memiliki karakteristiknya sendiri. Namun, sejumlah kasus dengan kerugian negara yang sama atau aktor yang terlibat memiliki jabatan yang sama justru dijatuhkan vonis yang berbeda.

(Baca: ICW: 79% Vonis Hukuman Pidana Korupsi Masih Ringan)

Dia memberikan salah satu contoh, terdakwa Delfi Dwian Iskandarsyah yang merugikan negara Rp 1,03 miliar. Terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama lima tahun. Sementara, terdakwa Syarifuddin yang merugikan negara sebesar Rp 1,1 miliar mendapat vonis lebih rendah. Meski memiliki besaran korupsi yang nyaris sama dengan terdakwa Delfi, Syarifuddin dijatuhkan pidana penjara hanya dua tahun.

Menurutnya, disparitas pemidanaan adalah sesuatu yang mustahil dilakukan. Namun menekan angka disparitas juga penting untuk mencapai rasa keadilan bagi pelaku dan korban korupsi. Lola menekankan, disparitas putusan menjadi masalah serius. Sebab, bisa mencederai rasa keadilan di masyarakat. Selain itu, disparitas membuat putusan pengadilan menjadi diragukan publik. 

(Baca: ICW: Program Pemberantasan Korupsi Jokowi dan Prabowo Tak Membuat Jera)

Dalam kondisi yang ekstrem, disparitas putusan bisa terjadi karena adanya transaksi jual-beli putusan. ”Sebab hakim yang memiliki kemandirian dan independensi dapat memutus sebuah perkara korupsi sesuka hati, tanpa pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Selain itu, konsistensi diperlukan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa korupsi. Dengan demikian, publik juga dapat mengetahui dasar penjatuhan putusan hakim.