Hasil perhitungan cepat atau quick count menunjukkan pasangan nomor urut 01 Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin sebagai pemenang sementara Pemilihan Presiden 2019. Pemenang Pilpres secara resmi akan diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei nanti.
Menjelang pengumuman KPU, beberapa ekonom mengemukakan usulan reshuffle atau pergantian kabinet bila Jokowi terpilih kembali. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal berpendapat sejumlah menteri ekonomi perlu diganti karena kinerjanya sangat membebani pemerintahan.
(Baca: Menteri Airlangga Sebut Insentif Pajak Jumbo Dirilis Semester Ini)
Fithra merekomendasikan reshuffle tiga menteri yakni Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
Ketiga sektor kementerian tersebut dianggap memiliki segudang masalah. Di bawah Menteri Enggar terjadi defisit transaksi berjalan yang mencapai titik terburuknya dalam empat tahun terakhir pada 2018 lalu. Defisit transaksi berjalan disebabkan oleh memburuknya kinerja perdagangan nonmigas dan dibarengi dengan meningkatnya permintaan impor.
Selain itu, masalah membayangi Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian yakni deindustrialisasi dan kisruh data pertanian. Persoalan kebijakan impor pangan yang tak dibarengi basis data yang jelas juga menyeret kementerian tersebut.
(Baca: Jokowi dan Pimpinan Serikat Buruh Sepakat Revisi PP Pengupahan)
Salah satunya mengenai ribut beras impor pada 2018. Kementerian Perdagangan dan Bulog saling lempar pernyataan mengenai perlu tidaknya keputusan impor beras. Di satu sisi, Kemendag menyebut impor beras dilakukan untuk menjaga stabilitas harga di pasaran.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyarankan sejumlah menteri yang perlu diganti setelah Jokowi terpilih kembali yakni Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong.
Bhima menilai Mendag perlu diganti karena kebijakan impor tanpa disertai data dan defisit neraca dagang. Ia menilai jabatan strategis di kementerian perdagangan seharusnya dijabat seseorang yang profesional, bukan titipan partai.
Bhima juga menilai Menteri Pertanian belum mampu mencapai swasembada pangan. "Daya beli petani juga stagnan sejak 4 tahun terakhir," kata dia.
(Baca: Kementan dan Bappenas Bersinergi Tingkatkan Produksi Pertanian)
Adapun BKPM dinilai gagal mendorong pertumbuhan realisasi investasi. Pada 2018, penanaman modal asing (PMA) melambat 8,8% secara tahunan. Akar permasalahan diperkirakan berasal dari sengkarut sistem Online Single Submission (OSS) yang diluncurkan pada 2018 lalu dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
Menteri Perindustrian pun dianggap belum mampu mencegah laju deindustrialisasi dengan kondisi pertumbuhannya terus merosot hingga di bawah 20%. "Saya pikir Menperin dan Mendag sebaiknya berasal dari profesional sehingga kerjanya fokus," ujarnya.
Adapun, Menko Perekonomian dinilai perlu diganti dengan sosok yang lebih energik dan tegas. Dia menilai persoalan keributan data pangan juga mencerminkan Menko Perekonomian yang kurang tegas.
"Saya respek dengan Pak Darmin yang memiliki track record panjang di dunia kebijakan ekonomi. Tapi perlu diakui 16 paket kebijakan butuh akselerasi implementasi," kata dia.
(Baca: Menko Darmin Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I di Atas 5,06%)