Potensi Pemilu 2019 Jadi yang Terburuk Setelah Reformasi

ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Massa berdemo aksi tolak kecurangan Pemilu 2019. Bila tak ditangani dengan baik, Pemilu 2019 berpotensi menjadi yang terburuk sejak reformasi.
Editor: Yuliawati
14/3/2019, 15.13 WIB

Keempat, masuknya 81 calon legislator mantan narapidana kasus korupsi yang dapat membuat pemilih enggan berpartisipasi mencoblos.

Kelima, maraknya politik kebencian berbasis identitas dan propaganda kebohongan. Arif menilai kebohongan ini aneh lantaran pelaku yang ditangkap hanya berada di tingkat bawah. Keenam, hambatan teknis seperti jumlah Tempat Pemungutan Suara yang minim dibandingkan pemilih.

Arif menyebut, dua hal yang membuat potensi pemilu terburuk terutama karena penyelenggaraan pilpres dan pileg bersamaan serta polarisasi di tengah masyarakat saat ini. "Dulu, aspek primordial (dalam memilih) ada tapi polarisasinya tidak seperti sekarang," katanya.

(Baca: Laporkan DPT Ganda, Adik Prabowo Sebut Tiga Tanggal Kelahiran Janggal)

Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menambahkan masalah seperti 370 WNA masuk DPT merupakan hal kecil yang dapat diselesaikan penyelenggara pemilu. Namun secara politik, hal ini dapat menjadi pintu masuk delegitimasi pemilu. Makanya Ray meminta satu bulan ini KPU menutup celah-celah tersebut. "Syukur-syukur tidak ada lagi masalah," katanya.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus juga menuntut transparansi informasi diberikan KPU. Dirinya menyatakan kecewa lantaran minimnya informasi yang diberikan KPU padahal hal tersebut efektif dalam menangkal hoaks.

"Transparansi bukan saja di depan media tapi bagaimana informasi diketahui publik," ujarnya.

(Baca: KPU Minta Elite Politik Tak Ikut Sebarkan Disinformasi)

Halaman: