Koalisi Seni Indonesia menekankan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan harus fokus mengatur tata kelola industri musik. Beberapa isu yang perlu dicakup, misalnya sertifikasi teknis serta standardisasi kerja sama perusahaan rekaman dengan musisi.
Peneliti Koalisi Seni Indonesia Hafez Gumay menuturkan, RUU Permusikan jangan sampai sekadar pengulangan peraturan lain, seperti UU Hak Cipta, UU Pemajuan Kebudayaan, serta UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
"DPR bilang, RUU Permusikan untuk jamin royalti musisi tetapi royalti sudah diatur dalam Hak Cipta. Daripada RUU ini hanya pengulangan (regulasi lain) lebih baik spesifik atur tata kelola industri musik yang belum ada," katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (1/2).
(Baca juga: Akses Kredit, Pengusaha Kreatif Butuh Valuator HKI untuk Yakinkan Bank)
Sepekan ini, RUU Permusikan mencuat usai pertemuan perwakilan musisi dengan DPR RI pada 28 Januari 2019. Isu yang bergulir menyorot sejumlah pasal yang dinilai berpotensi menjadi regulasi 'karet' alias tumpang tindih, serta pasal lain yang dianggap tidak jernih.
Beberapa yang mengemuka, yaitu Pasal 5, 18, 19 , 32, dan 42. Topiknya berbeda-beda, yakni menyangkut kebebasan berkreasi, tata cara konsumsi karya musik, pendampingan terhadap musisi asing yang konser di Indonesia, serta tentang uji kompetensi musisi.
(Baca juga: Deretan Lagu Viral Sepanjang 2018)
Pasal 5 mengundang perdebatan lantaran berpotensi membatasi kreativitas musisi dengan ancaman pidana. Insan musik dilarang membuat sesuatu yang bisa memicu khalayak melakukan kekerasan, melawan hukum, menodai agama, bahkan merendahkan martabat manusia.
Hafez berpendapat, respon khalayak atas karya musik bersifat sangat subjektif. "Seseorang menginterpretasikan lagu beda-beda. Tidak mungkin lagu yang penafsirannya subjektif bisa dikenakan pidana ke penciptanya," ujar dia.
(Baca juga: Tiket Konser Musisi Yunani dalam Prambanan Orchestra Mulai Rp 1 juta)
Konten Pasal 32 terkait dengan uji kompetensi musisi juga menjadi perbincangan. Bunyi salah satu ayat bahwa untuk diakui sebagai profesi, pelaku musik dari jalur autodidak harus mengikuti uji kompetensi.
Menurut Hafez, apabila uji kompetensi mengarah kepada sertifikasi teknis bisa jadi baik karena dapat sejalan dengan standardisasi honor. Tapi sertifikasi juga perlu diperinci terkait indikator penilaiannya, yakni kemampuan teknis musisi atau justru respon pasar terhadap karya yang dihasilkan.
"Kami tidak menolak sertifikasi musisi tetapi harus jelas yang akan diatur di dalamnya seperti apa. Harus rinci, tidak bisa hanya aturan umum. Butuh regulasi lebih detil terkait teknisnya," kata Hafez.
(Baca juga: Svara, Platform Radio Internet Lokal Bidik 2 Juta Pengguna)
Koalisi Seni Indonesia membenarkan sertifikasi musisi rentan diperdebatkan. Contohnya, seorang musisi mendapat sertifikasi A atas kemampuan memainkan alat musik tetapi lagu yang dibawakan jelek dalam arti tidak hits di pasar secara luas.
Namun, musisi lain mendapatkan sertifikasi lebih rendah semisal B atau C terkait kelihaian bermain alat musik. Tapi, lagu yang dibuatnya disukai banyak khalayak. "Lalu kalau ada standar honor mengacu ke sertifikasi ini, apakah akan adil?" ujar Hafez.
Sementara itu, Koalisi Seni Indonesia menilai aspek tata kelola industri musik yang juga butuh diatur ialah mekanisme kontrak kerja sama di antara perusahaan rekaman dengan musisi. Belum ada peraturan baku soal ini, draf RUU Permusikan juga tidak membahasnya.
(Baca juga: Pencatat Data Musik Berteknologi Blockchain Beroperasi Mulai 2020)
DPR RI sedang mematangkan rancangan undang-undang terkait industri musik. Parlemen berharap regulasi ini menyempurnakan penerapan aturan terkait yang lebih dulu hadir, seperti UU Hak Cipta dan UU Pemajuan Kebudayaan.
"Tak hanya memastikan musisi mendapatkan pemasukan finansial atas setiap karya ciptanya, RUU musik juga memastikan mereka tidak melupakan kewajibannya membayar pajak," kata Bambang Soesatyo.