Jokowi Sebut Pembagian Sertifikat Lahan di 2018 Lampaui Target

www.setkab.go.id
Presiden Jokowi menyerahkan sertifikat hak atas tanah untuk rakyat di Lapangan Andi Makasau, Kelurahan Mallusetasi, Kecamatan Ujung, Kota Parepare, Senin (2/7).
4/1/2019, 15.53 WIB

Pemerintah menyatakan target pemberian sertifikat lahan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sepanjang 2018 mencapai 9,31 juta sertifikat atau melampaui target yang ditetapkan sebesar 7 juta sertifikat. Pembagian sertifikat lahan ini memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan permasalahan sengketa tanah akan berkurang.

Hal ini disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di akun Instagramnya @Jokowi, Jumat (4/1). "Ini jauh di atas target yang saya patok, tujuh juta sertifikat," kata Jokowi.

Bukan hanya tahun lalu, Jokowi juga menjelaskan, pada 2017 realisasi penerbitan sertifikat hak atas tanah melebihi target 5 juta, tepatnya mencapai 5,4 juta sertifikat. Berdasarkan pencapaian dua tahun berturut-turut yang mampu melampaui target, tahun ini pemerintah menetapkan angka yang lebih tinggi untuk lembaga yang dipimpin Sofyan Djalil tersebut. "Tahun ini target 9 juta, realisasinya bisa 11-12 juta," kata Jokowi dalam keterangan resmi di laman Sekretariat Kabinet.

Jokowi mengatakan, target ini perlu dilakukan mengingat ada 126 juta lahan yang harus disertifikasi. Padahal, hingga 2015 hanya 46 juta yang bersertifikat. Dengan kata lain, masih ada 80 juta lahan yang belum memiliki sertifikat. "Kalau setahun hanya 500 ribu, artinya bapak ibu menunggu 160 tahun untuk dapat sertifikat," kata Jokowi.

Seperti yang kerap disampaikan, Jokowi juga meminta masyarakat berhati-hati dalam mengagunkan sertifikat ke bank. Pinjaman hendaknya dilakukan untuk kegiatan produktif seperti modal usaha dan ditabung. "Jangan dipakai foya-foya yang pamer kenikmatan," ujar Presiden.

(Baca: Serahkan Lahan Hutan ke Masyarakat, Jokowi: Tanam yang Menguntungkan)

Meski demikian, Program Reforma Agraria ini dinilai belum memenuhi harapan masyarakat. Bahkan, pemerintahan Jokowi-JK dinilai mengulang kesalahan yang sama dengan pemerintahan Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono. Pasalnya, pemerintah hanya mengumpulkan program sertifikasi tanah tanpa dibarengi usaha restrukturisasi.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, upaya restrukturasi tanah itu menjadi penting sebelum sertifikasi dilakukan. "Jika hanya dijalankan melalui sertifikasi tanah tanpa restrukturasi tanah, ini bisa menjadi tidak berkeadilan," kata Dewi, Kamis (3/1).

Selain itu, pemerintah masih menjalankan redistribusi dan sertifikasi tanah sebagai kegiatan terpisah. Padahal, kedua hal tersebut seharusnya menjadi rangkaian proses Reforma Agraria.

Lebih lanjut, KPA menilai dua sumber tanah yang menjadi objek Reforma Agraria dalam kerangka redistribusi tanah mengalami kemacetan. Kedua sumber tersebut berasal dari jenis tanah yang ditelantarkan pemilik hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan (HGB) dan HGU yang masa berlakunya habis.

KPA juga mengkritik Kementerian Pertanian yang dianggap tidak mendukung kebijakan Reforma Agraria. Sebab, Kementerian Pertanian selama ini justru mendukung perluasan perkebunan sawit. Kondisi tersebut berdampak pada ketimpangan dan korban konflik di pihak petani. Hal itu juga mengakibatkan laju cepat konversi lahan pertanian pangan.

(Baca: Selama 2018, Konflik Agraria Paling Banyak di Sektor Perkebunan)

Reporter: Ameidyo Daud Nasution