Selama 2018, Konflik Agraria Paling Banyak di Sektor Perkebunan
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 410 konflik agraria selama 2018. Secara akumulatif, selama empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, telah terjadi sedikitnya 1.769 konflik agraria.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun lalu mencakup luas wilayah 807.177,6 hektare (ha) dan melibatkan 87.568 kepala keluarga. Posisi tertinggi konflik agraria disumbang oleh pembangunan di sektor perkebunan dengan jumlah 144 kasus atau 35%. Sebanyak 60% atau 83 kasus konflik di sektor perkebunan terjadi di perkebunan kelapa sawit.
Posisi tersebut disusul oleh konflik di sektor properti sebanyak 137 kasus atau 33%, pertanian 53 kasus atau 13%, pertambangan 29 kasus atau 7%. Kemudian, kehutanan 19 kasus atau 5%, pembangunan infrastruktur 16 kasus atau 4%, serta pesisir/kelautan 12 kasus atau 3%.
Konflik agraria paling banyak tersebar di provinsi Riau, yakni sebanyak 42 kasus. Dewi mengatakan, faktor utama yang membuat konflik agraria paling banyak terjadi di Riau akibat maraknya perkebunan kelapa sawit dan perusahaan hutan tanaman industri (HTI).
Posisi Riau kemudian disusul Jawa Timur 35 kasus, Sumatera Selatan 28 kasus, Jawa Barat 28 kasus, Lampung 26 kasus, Sumatera Utara 23 kasus, Banten 22 kasus, Aceh 21 kasus, Kalimantan Tengah 17 kasus, dan DKI Jakarta 17 kasus. "Ada 444 desa dan 200 kota yang terdampak oleh konflik agraria," kata Dewi.
Ia menjelaskan, konflik di sektor perkebunan meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan luasan di sektor lainnya. Jumlah luasan konflik agraria di sektor ini mencapai 591.640,32 ha.
Luasan konflik tersebut disusul di sektor kehutanan mencapai 65.669,52 ha, pesisir 54.052 ha, pertambangan 49.692 ha, properti 13.004,763 ha, dan infrastruktur 4.859 ha.
(Baca: Jokowi Minta Bantuan Anies Selesaikan Sertifikat Tanah DKI Jakarta)
Kebijakan Pejabat Publik
Kerap kali konflik agraria di sektor perkebunan dipicu oleh keputusan pejabat publik dalam menetapkan Hak Guna Usaha (HGU) negara dan perkebunan swasta, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Keputusan pejabat publik tersebut dianggap acap tidak adil terhadap hak-hak rakyat.
Konflik juga dipicu oleh kegagalan program transmigrasi yang dilakukan pemerintah. Faktor lain yang menjadi pemicu karena masifnya perluasan perkebunan sawit di Indonesia.
Saat ini, perkebunan sawit telah menguasai 14 juta ha tanah di Indonesia. "Kenyataan ketimpangan dan konflik agraria akibat konsesi-konsesi perkebunan, khususnya industri sawit ini harus mampu dijawab oleh Perpres Reforma Agraria dan Inpres Moratorium Sawit," kata Dewi.
Sementara, konflik agraria di sektor properti terjadi karena gencarnya pengembangan kawasan industri properti dan real estate. Selain itu, konflik terjadi akibat para pengembang swasta kerap kali memonopoli tanah.
Tanah tersebut hanya diagunkan di bank atau menunggu harganya menguat sebelum dibangun. Padahal, masih banyak masyarakat miskin di perkotaan yang tidak memiliki tempat layak huni. "Bahkan tidak sedikit dari mereka digusur akibat kuatnya arus pembangunan dan pengembangan kota," kata Dewi.
Konflik agraria di sektor properti ini berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Dewi mencontohkan, hal tersebut seperti terlihat pada pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Dewi memaparkan, perencanaan program BIJB memakan lahan dengan luasan mencapai 5.000 ha. Padahal, hanya 1.800 ha tanah yang saat ini digunakan untuk pembangunan bandara. "Sisanya lebih banyak untuk pengembangan properti kawasan aerocity dan bisnis penunjang BIJB," kata Dewi.
(Baca: Izin Perluasan Lahan Sawit Dibatasi, Petani Soroti Delapan Hal Ini)