Program Reforma Agraria di Era Jokowi-JK Dinilai Belum Maksimal

ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Warga menunjukkan sertifikat tanah yang baru diserahkan oleh Presiden Joko Widodo di Balai Kota Tasikmalaya, Jumat (9/6).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
3/1/2019, 17.39 WIB

Program Reforma Agraria yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dinilai belum memenuhi harapan masyarakat. Bahkan, pemerintahan Jokowi-JK dinilai mengulang kesalahan yang sama dengan pemerintahan Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono. Pasalnya, pemerintah hanya mengumpulkan program sertifikasi tanah tanpa dibarengi usaha restrukturisasi.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, upaya restrukturasi tanah itu menjadi penting sebelum sertifikasi dilakukan. "Jika hanya dijalankan melalui sertifikasi tanah tanpa restrukturasi tanah, ini bisa menjadi tidak berkeadilan," kata Dewi, di Jakarta, Kamis (3/1).

Selain itu, pemerintah masih menjalankan redistribusi dan sertifikasi tanah sebagai kegiatan terpisah. Padahal, kedua hal tersebut seharusnya menjadi rangkaian proses Reforma Agraria.

Lebih lanjut, KPA menilai dua sumber tanah yang menjadi objek Reforma Agraria dalam kerangka redistribusi tanah mengalami kemacetan. Kedua sumber tersebut berasal dari jenis tanah yang ditelantarkan pemilik hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan (HGB) dan HGU yang masa berlakunya habis.

Dewi juga mengkritik Kementerian Pertanian yang dianggap tidak mendukung kebijakan Reforma Agraria. Sebab, Kementerian Pertanian selama ini justru mendukung perluasan perkebunan sawit. Kondisi tersebut berdampak pada ketimpangan dan korban konflik di pihak petani. Hal itu juga mengakibatkan laju cepat konversi lahan pertanian pangan. "Masalah monopoli sawit dan konflik agraria di sektor perkebunan juga merupakan kontribusi Kementerian Pertanian," kata Dewi.

KPA menilai, Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) belum bekerja secara maksimal. Banyak Tim PPTKH di daerah yang enggan melakukan tugasnya dengan baik, padahal mereka sudah siap dibantu serikat-serikat petani dalam melakukan verifikasi lahan.

KPA pun menganggap Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK selama ini bersikap tidak kooperatif dan terbuka dengan organisasi masyarakat sipil. Seringkali usulan dari organisasi masyarakat sipil diabaikan oleh Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata lingkungan KLHK.

Persoalan lainnya karena terdapat praktik kebijakan agraria yang kontraproduktif dengan realisasi reforma agraria. "Pada proses pembangunan infrastruktur, pembangunan sektor tambang, penyelesaian konflik, praktik korupsi, dan kriminalisasi," kata dia.

(Baca: Selama 2018, Konflik Agraria Paling Banyak di Sektor Perkebunan)

Mengerem Laju Eksploitasi

Meski banyak masalah terjadi dalam pelaksanaan Reforma Agraria, KPA tetap memberikan apresiasi kepada pemerintahan Jokowi-JK. Alasannya, telah ada beberapa perbaikan yang cukup berarti dalam Reforma Agraria selama empat tahun terakhir.

Salah satunya adalah adanya keinginan politik untuk mengerem laju eksploitasi berlebihan di wilayah hutan, khususnya untuk industri skala besar. "Seperti melakukan moratorium pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit, moratorium perubahan hutan primer, dan kawasan gambut," kata Dewi.

Kebijakan agraria kerakyatan untuk mengurangi kesenjangan juga semakin menjadi tren selama pemerintahan Jokowi-JK. Hal ini dapat terlihat dengan adanya program dan kebijakan terkait mengenai hutan adat dan perhutanan sosial.

Kedeputian Tata Kelola Kehutanan Kemenko Perekonomian Prabianto Mukti Bowo mengakui jika saat ini kebijakan Reforma Agraria belum bisa optimal, khususnya dalam realisasi distribusi tanah. Hanya saja, Prabianto memastikan pemerintah tetap berkomitmen untuk menyelesaikan Program Reforma Agraria.

"Ini terus kami kejar. Nanti kami tentu minta bantuan pendapat dan pendampingan dari masyarakat sipil untuk mengawal kebijakan ini," kata Prabianto.

(Baca: Pengusaha Sawit Minta Kewajiban 20% Perkebunan Rakyat Tak Multitafsir)

Reporter: Dimas Jarot Bayu