Eni Saragih Juga Didakwa Terima Gratifikasi dari 4 Pengusaha Migas

Donang Wahyu|KATADATA
Ilustrasi
Penulis: Dimas Jarot Bayu
29/11/2018, 15.47 WIB

Selain kasus suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1, Mantan Wakil Ketua Komisi Energi DPR RI Eni Maulani Saragih juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 5,6 miliar dan SIN$ 40 ribu. Gratifikasi tersebut didapatkan Eni dari empat pengusaha yang bergerak di bidang minyak dan gas (migas).

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Sarumpaet menduga gratifikasi tersebut digunakan Eni untuk mengongkosi biaya Pilkada 2018 yang diikuti suaminya, Muhammad Al Khadziq. Ketika itu, Khadziq sedang menjadi calon bupati Temanggung berpasangan dengan Heri Wibowo.

"Dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangan terdakwa selaku anggota Komisi VII DPR RI, terdakwa telah menerima beberapa pemberian berupa uang dari pengusaha yang bergerak di bidang energi dan migas," kata Budi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (29/11).

Empat pengusaha yang memberikan gratifikasi tersebut, antara lain Direktur PT Smelting Prihadi Santoso, Direktur PT One Connect Indonesia (OCI) Herwin Tanuwidjaja, Pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal Samin Tan, dan Presiden Direktur PT ISargas Iswan Ibrahim. Prihadi dan Iswan memberikan gratifikasi kepada Eni masing-masing sebesar Rp 250 juta. Herwin memberikan gratifikasi sebesar Rp 100 juta dan SIN$ 40 ribu. Sementara, Samin memberi gratifikasi sejumlah Rp 5 miliar.

(Baca: Kasus Suap PLTU Riau-1, Eni Saragih Jalani Sidang Perdana Hari Ini)

Gratifikasi Diserahkan Tunai

Penerimaan dari Prihadi dan Herwin dilakukan sekitar Mei 2018 di Hotel Fairmont Jakarta. Ketika itu, keduanya meminta bantuan Eni untuk memfasilitasi pertemuan dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup. Tujuannya agar PT Smelting dan PT OCI dapat melakukan impor limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) untuk diolah menjadi copper slag. Permohonan Prihadi dan Herwin ditindaklanjuti Eni dengan mempertemukannya dengan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati.

Atas fasilitasi pertemuan tersebut, Prihadi memberikan uang melalui orang kepercayaan Eni, Indra Purmandani. Uang diberikan secara bertahap melalui rekening Indra pada 8 Mei 2018 dan 26 Juni 2018 masing-masing sejumlah Rp 100 juta. Kemudian, uang kembali diserahkan secara tunai pada Juli 2018 sejumlah Rp 50 juta. Sementara itu, Herwin memberikan uang Rp 100 juta pada 3 Juli 2018 melalui rekening Indra. "Selanjutnya, Indra Purmandani memberikan uang-uang tersebut kepada terdakwa melalui Tahta Maharaya selaku tenaga ahli terdakwa," kata Budi.

Samin memberikan gratifikasi kepada Eni karena sebelumnya ia meminta bantuan terkait permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 di Kalimantan Tengah antara PT Asmin Kolaindo Tuhup (AKT) dengan Kementerian ESDM. PT AKT merupakan anak usaha PT Borneo Lumbung Energi & Metal yang bergerak di bidang pertambangan batu bara.

Eni kemudian memfasilitasi pihak PT AKT dengan Kementerian ESDM. Dalam prosesnya, Eni meminta sejumlah uang kepada Samin pada awal Juni 2018 untuk keperluan Pilkada Temanggung 2018 yang diikuti suaminya.

Samin melalui Direktur PT Borneo Lumbung Energi & Metal Nenie Afwani kemudian memberikan uang sejumlah Rp 4 miliar kepada Eni. Uang tersebut diserahkan secara tunai kepada Eni melalui Tahta di kantor PT AKT, Jakarta.

Pada 5 Juni 2018, Eni kembali meminta uang kepada Samin untuk keperluan Pilkada Temanggung yang diikuti suaminya. Samin melalui Nenie lantas memberikan uang lagi kepada Eni secara tunai sebesar Rp 1 miliar di kantor PT AKT.

Sementara, Iswan memberikan uang setelah dihubungi oleh Eni untuk bertemu di Gedung DPR RI pada Mei 2018. Iswan menyanggupinya dan memberikan Rp 250 juta dalam dua tahap.

Tahap pertama diberikan Iswan sebesar Rp 200 juta melalui rekening Indra pada 7 Juni 2018. Tahap kedua diberikan Iswan sebesar Rp 50 juta secara tunai kepada Indra di kantor PT Isargas, Jakarta pada Juli 2018. Atas perbuatannya, Eni didakwa melanggar Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

(Baca: Kasus PLTU Riau, Eni Saragih Didakwa Terima Suap Rp 4,75 Miliar)