Pengacara dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menjadi kuasa hukum pengembang megaproyek Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU). Denny mengatakan pengembang akan melakukan investigasi internal terkait dugaan suap yang menyeret Grup Lippo kepada pemerintah Kabupaten Bekasi.
Tujuan investigasi tersebut untuk mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi atas kasus tersebut. "PT MSU langsung melakukan investigasi internal yang independen dan obyektif," kata kuasa hukum PT MSU Denny Indrayana dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/10).
Denny mengatakan, PT MSU tak akan mentolerir prinsip antikorupsi yang menjadi kebijakan perusahaan. Menurutnya, PT MSU akan memberikan sanksi dan tindakan tegas kepada pihak yang melakukan penyimpangan itu.
(Baca juga: Duo Sindoro dalam Pusaran Kasus Seret Grup Lippo di KPK)
Hal tersebut bakal sesuai ketentuan hukum kepegawaian yang berlaku. "Kami tidak akan segan-segan untuk memberikan sanksi," kata Denny.
Denny pun menyebut PT MSU terkejut dan menyesalkan kejadian dugaan suap terkait perizinan Meikarta. Karenanya, PT MSU akan menghormati dan mendukung proses hukum di KPK.
Lebih lanjut, PT MSU akan bertindak kooperatif membantu kerja KPK. "Untuk mengungkap tuntas kasus dugaan suap tersebut," kata Denny.
Sebelumnya, KPK menduga Direktur Operasional Grup Lippo Billy Sindoro memberikan suap kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin beserta empat pejabat di lingkungan Pemkab Bekasi. Billy dibantu oleh dua orang konsultan Grup Lippo yakni Taryudi dan Fitra Djaja Purnama dan seorang pegawai Grup Lippo, Henry Jasmen.
(Baca juga: Terbongkarnya Suap dalam Sengkarut Izin Megaproyek Meikarta)
Billy diduga memberikan suap senilai Rp 7 miliar dari total komitmen Rp 13 miliar. Suap tersebut diberikan sebagai bagian komitmen fee untuk berbagai perizinan pada fase pertama proyek Meikarta.
Setidaknya terdapat tiga fase terkait izin yang sedang diurus untuk proyek seluas 774 hektare tersebut. Fase pertama proyek Meikarta diperkirakan untuk luasan 84,6 hektare. Fase kedua seluas 252 hektare. Sementara fase terakhir terhampar 101,5 hektare.
“Pemberian pada bulan April, Mei, dan Juni 2018,” ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
(Baca juga: Kronologi KPK Tangkap Tangan Suap Izin Proyek Meikarta)
Billy, Taryudi, Fitra, serta Henry diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara Neneng bersama empat pejabat di bawahnya yang diduga sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.