Mantan Kepala BPPN Dituntut 15 Tahun dalam Kasus Dugaan Korupsi BLBI

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung (kiri) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (21/6/2018).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
3/9/2018, 15.55 WIB

Kemudian, Sjafruddin di depan Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri melaporkan adanya utang petambak sebesar Rp 3,9 triliun. Dari jumlah tersebut, utang yang dapat dibayarkan mencapai Rp 1,1 triliun, sementara sisanya sebesar Rp 2,8 triliun diusulkan untuk dihapusbukukan.

"Terdakwa juga menyampaikan kemungkinan penghapusbukuan di BPPN, namun tidak melaporkan aset berupa utang petambak yang diserahkan oleh Sjamsul Nursalim terdapat misrepresentasi pada saat penyerahannya ke BPPN," kata Kiki.

Atas laporan Syafruddin, Kiki menyebut Megawati tidak mengambil keputusan. Ini sebagaimana keterangan yang disampaikan Dorodjatun dan eks Menteri Keuangan Boediono.

Meski demikian, Syafruddin tetap mengklaim usulan penghapusan porsi utang unsustainable petambak plasma atas persetujuan Megawati. Dari situ, Syafruddin menandatangani ringkasan eksekutif BPPN yang mengusulkan KKSK penghapusbukuan utang tersebut.

Pada 13 Februari 2004, Dorodjatun dengan berpedoman pada ringkasan eksekutif BPPN kemudian menandatangani Keputusan No. KEP. 02/K.KKSK/02/2004. Keputusan itu menyetujui nilai utang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp 100 juta.

Dengan penetapan nilai utang maksimal tersebut, maka sebagian utang pokok dihapuskan secara proporsional sesuai beban utang masing-masing petambak plasma. Selain itu, seluruh tunggakan bunga serta denda dihapuskan. Keputusan KKSK sebelumnya yang memerintahkan porsi unsustainable debt ditagihkan ke Sjamsul dan dialihkan ke PT DCD pun dinyatakan tidak berlaku.

"Pasca-keluarnya Keputusan KKSK tanggal 13 Februari 2004, selanjutnya terdakwa melakukan penghapusbukuan utang petambak Dipasena pada 29 Februari 2004, yaitu dua hari setelah perpanjangan masa tugas BPPN," kata Kiki.

Kiki mengatakan, sebenarnya hak tagih porsi utang unsustainable petambak masih ada meski adanya penghapusbukuan. Hanya saja, Kiki menilai Syafruddin mengabaikan fakta tersebut.

Pasalnya, Syafruddin bersama Sjamsul yang diwakili istrinya, Itjih S Nursalim justru menandatangani akta perjanjian penyelesaian akhir No. 16. Akta tersebut menyatakan bahwa Sjamsul telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam MSAA.

Kemudian tanggal 26 April 2004, terdakwa menandatangi surat SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal PKPS kepada Sjamsul Nurslaim sehingga mengakibatkan hak tagih utang petambak pada Dipasena menjadi hilang," kata Kiki.

Halaman: