Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim menyatakan dirinya telah melunasi kewajiban mengembalikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sjamsul melalui pengacaranya, Maqdir Ismail, membantah tudingan melarikan diri dari kasus korupsi yang diduga merugikan negara sebesar Rp 4,58 miliar.
Maqdir menjelaskan utang BDNI sebesar Rp 4,8 triliun tersebut dilunasi melalui skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) pada 1998. Melalui skema tersebut, utang petani tambak udang di Lampung sebesar Rp 1,1 triliun telah diperhitungkan ke dalam aset BDNI.
Kemudian utang tersebut dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hal ini dibuktikan dengan diterimanya surat pembebasan dan pelepasan (release and discharge) yang ditandatangani Ketua BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung dan Menteri Keuangan pada 1999.
Adapun, sisa utang BDNI sebesar RP 3,7 triliun dihapuskan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada 2004. “Selanjutnya dengan persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 2004, BPPN mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL),” kata Maqdir ketika dihubungi Katadata.co.id, Jumat (27/4).
(Baca juga: KPK Bidik Perusahaan Milik Sjamsul Nursalim di Kasus BLBI)
Maqdir mengatakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saat penutupan BPPN telah menerbitkan Laporan Pemeriksaan atas Laporan Pelaksanaan Tugas BPPN Nomor 34G/XII/11/2006 tertanggal 30 November 2006. Dalam laporan tersebut, BPK menyatakan bahwa SKL kepada BDNI layak karena telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam MSAA dan perubahan-perubahannya.
“Serta telah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002,” kata Maqdir.
Dari rangkaian tersebut, Maqdir menilai Sjamsul yang juga menjadi bos PT Gajah Tunggal Tbk., tak pernah terlibat masalah hukum dan tak sedang melarikan diri. “Sebagai warga negara beliau bebas berpergian dan menetap di mana pun,” kata dia.
Keterangan Maqdir ini berbeda dengan versi KPK. KPK menjerat mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung sebagai tersangka dalam kasus BLBI karena menerbitkan SKL kepada Sjamsul Nursalim pada 2004 sebesar Rp 4,8 triliun.
(Baca juga: KPK Tahan Mantan Kepala BPPN Terkait Dugaan Korupsi BLBI)
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Berdasarkan Inpres tersebut, Sjamsul dianggap sudah menyelesaikan utang, padahal baru melunasi 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70% dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Sjamsul menyerahkan aset perusahaan udang PT Dipasena Citra Darmaja sebagai pembayaran tagihan utang sebesar Rp 1,1 triliun. Namun ternyata setelah dilelang oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) hanya diperoleh sebesar Rp 220 miliar.
Dari hasil lelang PPA dan perhitungan utang yang tak tertagih sebesar Rp 3,7 triliun, BPK menghitung jumlah kerugian negara atas penerbitan SKL BDNI ini sebesar Rp 4,58 triliun.
(Baca: BPK Temukan Kerugian Negara Kasus BLBI Nursalim Rp 4,6 Triliun)
Sjamsul mangkir dua kali dari pemanggilan KPK untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Surat panggilan yang disampaikan KPK melalui lembaga antikorupsi Singapura (CPIB) pun tak digubris Sjamsul.
Sementara itu berkas perkara Syafruddin sendiri saat ini telah dilimpahkan ke penuntut umum atau tahap dua dan dalam waktu dekat akan disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).