Beda Sikap soal Cawapres, PKS Klaim Masih Solid dengan Gerindra

ANTARA FOTO/Reno Esnir
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kedua kiri), Cagub Jawa Tengah Sudirman Said (kedua kanan) dan Waketum Partai Gerindra Ferry Juliantono.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
10/4/2018, 09.58 WIB

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih bersikukuh mendapatkan posisi calon wakil presiden pendamping Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019. Gerindra hingga kini masih menggodok cawapres di luar kader PKS dengan kriteria sosok yang memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi.

PKS masih terus melobi Gerindra untuk bisa menyetujui usulan agar kader internal mereka dapat dipilih sebagai cawapres. "Posisinya kemungkinannya Gerindra di capres, PKS di cawapres," kata Sekretaris Jenderal PKS Mardani Ali Sera ketika dihubungi Katadata.co.id, Selasa (10/4).

PKS telah mengajukan sembilan nama kader internal hasil keputusan Majelis Syuro sebagai cawapres Prabowo. Mereka, yakni Hidayat Nur Wahid, M Sohibul Iman, Ahmad Heryawan, Anis Matta, Irwan Prayitno, Salim Segaf Aljufri, Tifatul Sembiring, Muzammil Yusuf dan Mardani Ali Sera.

Mardani mengatakan meski belum ada kesepakatan mengenai calon yang diajukan PKS, Mardani mengatakan hubungan antara Gerindra dan PKS tidak merenggang dan tetap solid untuk maju bersama dalam Pilpres 2019. 

(Baca juga: Anies dan Gatot Kandidat Cawapres, Gerindra Pantau Elektabilitas)

Sementara itu, Gerindra terus menjaring cawapres terutama yang mampu mendongkrak suara Prabowo saat Pilpres. Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Andre Rosiade menyebutkan beberapa orang yang masuk radar Gerindra di antaranya mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Selain Anies dan Gatot, daftar cawapres yang ditampung Gerindra yakni Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Pemenangan Pilkada dan Pilpres Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB).

Prabowo sendiri belum mengambil keputusan maju sebagai capres. Rencana awal dia mendeklarasikan saat Rapat Kerja Nasional pada 11 April besok, namun kemudian dibatalkan.

(Baca juga: Ketum Golkar Beri Sinyal PAN atau Demokrat Akan Dukung Jokowi di 2019)

Peneliti dari The Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai pengunduran deklarasi Prabowo terkait belum adanya kesepakatan Gerindra dengan partai koalisi, seperti PKS maupun Partai Amanat Nasional dalam menentukan cawapres.  

 Arya menilai alasan penundaan deklarasi sebagai strategi yang cukup tepat karena belum adanya kesepakatan memungkinkan konstelasi politik dapat berubah.

"Misalnya tiba-tiba PKS dan PAN berubah haluan atau membuat poros ketiga bersama siapa," kata dia.

Selain itu, Arya menilai Prabowo dengan menunda deklarasi setelah pemilihan kepala daerah serentak, maka dapat melihat tren perilaku pemilih ke depannya. Sehingga, Prabowo dapat menyiapkan strategi baru untuk meningkatkan elektabilitasnya.

"Ini memang strategi mengulur waktu sambil mempersiapkan strategi baru, misalnya siapa cawapres atau isu apa yang akan digunakan untuk menarik pemilih," kata dia.

(Baca juga: Luhut dan Prabowo Bertemu, Gerindra: Mereka Sahabat Lama)